Korupsi
merupakan “penyakit” sosial yang sudah dan kian merebak di semua bidang
kehidupan sosial. Persoalan ini seolah-olah membudaya karena telah menjadi
suatu kebiasaan dan bahkan secara sosial hal ini diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
Dalam konsep yang lebih ekstrem dapat dikatakan bahwa generasi sekarang selain mendapat ilmu pengetahuan dan pengembangan lainnya tetapi juga mendapat suatu kebiasaan untuk menjadi koruptor. Studi dan kenyataan telah membuktikan bahwa persoalan korupsi telah menjadi penyakit bangsa. Bahkan lembaga yang dibentuk untuk memberantasi korupsi juga menjadi wadah atau peluang untuk korupsi. Jika kenyataanya memang demikian, maka persoalan korupsi ini sulit untuk diatasi. Untuk konteks Indonesia, masalah korupsi merupakan suatu masalah yang tidak lagi dilihat sebagai masalah yang baru karena memang telah menjadi budaya atau kebiasaan. Indonesia dan korupsi merupakan dua variable yang saling bertautan. Artinya, ketika orang berbicara tentang Indonesia, maka salah satu persoalan utama yang dibicarakan adalah persoalan korupsi. Atau sebaliknya, ketika orang berbicara tentang korupsi, maka orang berbicara juga tentang Indonesia.
Dalam konsep yang lebih ekstrem dapat dikatakan bahwa generasi sekarang selain mendapat ilmu pengetahuan dan pengembangan lainnya tetapi juga mendapat suatu kebiasaan untuk menjadi koruptor. Studi dan kenyataan telah membuktikan bahwa persoalan korupsi telah menjadi penyakit bangsa. Bahkan lembaga yang dibentuk untuk memberantasi korupsi juga menjadi wadah atau peluang untuk korupsi. Jika kenyataanya memang demikian, maka persoalan korupsi ini sulit untuk diatasi. Untuk konteks Indonesia, masalah korupsi merupakan suatu masalah yang tidak lagi dilihat sebagai masalah yang baru karena memang telah menjadi budaya atau kebiasaan. Indonesia dan korupsi merupakan dua variable yang saling bertautan. Artinya, ketika orang berbicara tentang Indonesia, maka salah satu persoalan utama yang dibicarakan adalah persoalan korupsi. Atau sebaliknya, ketika orang berbicara tentang korupsi, maka orang berbicara juga tentang Indonesia.
Korupsi di
Indonesia hampir terjadi pada seluruh lapisan masyarakat. Artinya, korupsi tidak
hanya “digemari” oleh kaum elite (kaum politisi dan para penguasa), tetapi ia
sudah menjalar hingga ke seluruh lapisan masyarakat, bahkan masrakat kelas
bawah sekalipun. Dan persoalan ini bukan hanya persoalan yang hanya terjadi
pada era tertentu seperti era Orde Baru (masa kepemimpinan Soeharto), tetapi
juga pada generasi sekarang. Lebih lanjut korupsi bukan lagi hanya sebatas
pencurian uang untuk memperkaya diri sebagai akibat dari system politik yang
sangat koruptif tetapi suatu pola yang telah merasuki mentalitas masyarakat
yang sekaligus mengarahkanya pada pengkultusan korupsi. Berhadapan dengan
realitas yang ada, maka hal ini sangat sulit untuk diatasi. Namun hal itu tidak
berarti tidak ada kemungkinan-kemungkinan lain untuk mengatasinya. Untuk
konteks sekarang, salah satu kemungkinan yang dapat mengatasi persoalan ini
adalah revolusi mental yang mesti terjadi saat ini dan mengaktualisasikan peran
masyarakat. Masyarakat perlu diberdayakan secara efektif untuk melawan korupsi
dengan menciptakan suatu gerakan sosial dan lebih dari pada itu menciptakan suasana
masyarakat yang bebas korupsi mulai dari diri sendiri dan masyarakat itu
sendiri. Inilah yang oleh penulis disebut sebagai proses revolusi mental
kekinian. Artinya, revolusi mental yang selalu aktual dilakukan.Proses ini
dapat memberi peluang kepada masyarakat untuk memberikan penilaian-penilaian
kritis dan juga bertindak
sesuai dengan penilaian-penilaian tersebut.
Apa
itu Korupsi?
Korupsi sudah
terlampau tenar untuk konteks Indonesia. Kerena itu hampir pasti semua lapisan
masyarakat mengetahui apa itu korupsi. Namun tanpa mengurangi apa yang sudah
diketahui oleh masyarakat umum, penulis juga akan menguraikan beberapa definisi
teoretis tentang terminologi korupsi. Memang dari beberapa konsep tersebut
tidak ada satu formulasi yang baku untuk menjelaskan term korupsi. Berikut
beberapa penjelasan teretis tentang korupsi.
J. S. Badudu,
dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan
yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan lain sebagainya. Dalam
penjelasannya, Badudu menegaskan bahwa korupsi sebagai tindakan penggelapan
uang dan tindakkan tersebut sebagai perbuatan yang buruk. Hal ini berhubungan
dengan tingkah laku individu yang menggunakan wewenang atau jabatan untuk
memperoleh keuntungan pribadi dan merugikan kepentingan umum dan Negara. Disini
tampak dengan jelas bahwa korupsi merupakan penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan
diri sendiri dan merugikan orang lain. Sementara As Hornby E. V. Getenby dan H.
Wakefiel mendefinisikan korupsi sebagai penawaran atau pemberian dan penerimaan
suap. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa tindakan untuk korupsi sebagai suatu kebusukan. Kebusukan
berhubungan dengan akhlak atau moral dari orang yang melakukan tindakkan
korupsi. Sementara penyuapan didefiniskan sebagai hadiah, penghargaan,
pemberian atau keistimewaan yang diberikan dengan tujuan untuk merusak pertimbangan
atau tingkah laku dari seseorang
atau sekelompok orang yang mempunyai kedudukan terpercaya, misalnya sebagai
pejabat pemerintah.
Dari beberapa
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan tindakan
penggelapan dan penyuapan serta penyogokan dan penyalahgunaan wewenang demi
kepentingan pribadi dan merugikan kepentingan umum dan Negara. Namun lebih dari
itu korupsi mesti dipahami secara luas yang mencakupi penyalahgunaan waktu,
jabatan dan kedudukan istimewa dan hal lain dalam masyarakat demi kepentingan
pribadi.
Potret
Korupsi di Indonesia
Indonesia
merupakan salah satu negara yang mempunyai catatan buruk dengan persoalan
korupsi. Korupsi telah merasuki seluruh dimensi kehidupan. Korupsi di Indonesia
kebanyakan dilakukan oleh para birokrat atau oleh kelompok yang hidup dalam
satu system strukrural yang memungkinkan praktek korupsi. Segala bentuk korupsi
yang terjadi di bangsa ini diakibatkan oleh hilangnya kesadaran moral dan
etika, system pendidikan yang timpang, ketidakpastian hukum dan lain
sebagainya. Sesungguhnya kesadaran moral dan etika hidup seseorang dapat memberi
andil yang signifikan dalam mengawal tindakan seseorang. Namun dalam
kenyataannya, keutamaan tersebut mengalami erosi bahkan hilang sama sekali.
Kehilangan kesadaran moral dan etika tersebut memungkinkan orang untuk
melakukan tindakan-tindakan destruktif, misalnya korupsi. Sebab kepekaan indra
batin dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan kritis terhadap suatu tindakan
yang dilakukan agar sesuai dengan fungsinya. Bertolak dari pendasaran ini, maka
bisa dibayangkan bahwa sesungguhnya korupsi yang terjadi di kalangan birokrat
bukan karena rendah atau kurang memadainya gaji tetapi karena lemahnya
kesadaran moral dan etika.
Kemerosotan
moral dan etika di atas sesungguhnya dipengaruhi oleh system pendidikan yang
timpang. Di mana sistem pendidikan lebih menekankan aspek akademik sehingga
mengabaikan aspek moral yang berkibat lebih lanjut pada perkembangan mental dan
kepribadian seseorang. Dalam hubungannya dengan korupsi, orang-orang yang
sebelumnya hanya ditempa dan dipersiapkan secara akademik tanpa memperhatikan
aspek moral menjadi pribadi yang dengan kesadaran moral yang lemah. Orang
dengan kepribadian moral yang lemah akan sangat mudah untuk melakukan
tindakan-tindakan destruktif, misalnya korupsi. Sebab lain adalah
ketidakpastian hukum. Di Indonesia lembaga hukum selain menjadi lembaga
penegakan hukum, ia juga menjadi tempat yang menciptakan peluang terjadinya
korupsi. Di sana kadang terjadi mafia yang sarat korupsi. Karena itu, banyak
koruptor yang dinyatakan tidak bersalah sekalipun ia bersalah. Hal ini memberi
peluang terjadinya korupsi. Singkatnya, ada suatu lingkaran setan antara
masalah korupsi dan lembaga penegakan hukum. Bertolak dari beberapa sebab di
atas, penulis menyimpulkan bahwa selain pembentukan lembaga pemberantasan
korupsi sebagai upaya mengatasi korupsi, revolusi mental kekinian (saat ini dan
selalu) menjadi hal yang sangat penting.
.
Revolusi
Mental Kekinian
Korupsi
merupakan suatu penyakit sosial dan politik yang terjadi masa kini. Korupsi
telah menyebabkan kemiskinan yang structural, penindasan, disintegrasi bangsa,
ketidakadilan dan pelbagai akibat lainnya. Ia semacam benalu sosial yang
merusak seluruh struktur pemerintahan dan menghancurkan tatanan hidup bersama.
Karena itu, persoalan ini mesti diatasi. Salah satu hal yang mendesak untuk
diupayakan saat ini adalah revolusi mental. Tentang revolusi mental ini sesungguhnya
telah digaungkan oleh Presiden
Jokowi, walaupun hal itu sesungguhnya sudah diserukan dalam formulasi yang
berbeda. Upaya pemberantas korupsi tidak cukup hanya menunggu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Revolusi mental di sini, diartikan pada pembenahan
mentalitas seseorang
dan masyarakat umumnya dengan menghidupkan kembali kesadaran moral dan etika.
Hal ini sangat membutuhkan peran keluarga, institusi agama, pendidikan dan
masyarakat umumnya. Jika hal ini dilakukan, maka akan menghasilkan generasi
yang paling kurang mempunyai daya kritis terhadap mentalitas koruptif. Lebih
lanjut kesadaran seperti itu membangkitkan peran serta atau partisipasi
masyarakat dalam mengkawal sistem politik dan pemerintahan di negeri ini untuk
menekan budaya korupsi.
Masyarakat
memainkan peran yang amat penting dalam mengatasi budaya korupsi. Karena itu,
kehadiran masyarakat yang sudah mengalami revolusi mentalnya dapat menjadi
membuka jalan revolusi sosial. Revolusi sosial adalah suatu perubahan radikal
yang digerakkan oleh masyarakat untuk keluar dari cengkraman kekuatan-kekuatan
yang menindas. Sebab perubahan itu sesungguhnya mesti digerakkan dari
masyarakat bawah. Karena itu, dalam hal ini masyarakat merupakan agen
perubahan. Perubahan yang dimaksudkan
adalah perubahan sistem pemerintahan yang selama ini sarat dengan korupsi.
Jadi, perubahan dapat terjadi bila masyarakat terlibat aktif dengan mengetahui
segala persoalan yang ada sebagai pengetahuan dasar untuk bersikap kritis.
Sikap kritis tersebut memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi
sekaligus mengontrol kinerja pemerintah dengan penuh tanggung jawab. Karena
itu, masyarakat mempunyai peran penting yang hadir dengan mentalitas yang baru
untuk mengatasi korupsi di negara ini. Jika masyarakat baru hadir dengan
revolusi mental dan menjadi agen revolusi sosial, maka budaya korupsi
sekurang-kurangnya dapat diatasi dan terwujud.
Daftar Pustaka
Perbandingan ini mesti
dipahami dalam konteks pembicaraan masyarakat Indonesia.
J. S. Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 270.
Baharudin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum (Jakarta:
Kompas, 2001), hlm. 67
Bdk. Mudji Sutrisno, Ide-Ide Pencerahan (Jakarta: Obor, 2004),
hlm. 70.
Bdk. Paulo Freire,
Alois A. Nugroho (penterj.) Pendidikan
Sebagai Praktek Pembebasan (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 120
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi (Jakarta: Obor, 1998),
hlm. 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.