KEBANGKITAN KEMBALI INDUSTRI PESAWAT NASIONAL: PERJALANAN PT. DIRGANTARA INDONESIA
ABSTRAK
Teknologi
telah menjadi salah satu mesin penggerak perekonomian suatu Negara industri
manufaktur dengan intensitas teknologi tinggi menjadi mesin pertumbuhan
negara-negara maju.Salah satu dari sedikit industri manufaktur berintensitas
teknologi tinggi yang eksis di Indonesia adalah industri pesawat
terbang.PT.Dirgantara Indonesia (PT. DI) yang merupakan satu-satunya perusahaan
produsen pesawat terbang di Indonesia memiliki sejarah perjalanan yang panjang
mulai dari masa Orde Baru hingga kini.Studi ini bertujuan untuk menganalisis
perkembangan PT. DI sebagai satu-satunya perusahaan nasional produsen pesawat
terbang di Indonesia, mulai dari awal perkembangan, masa kejayaan, masa keterpurukan,
hingga kini mulai bangkit kembali; serta mengidentifikasi faktor-faktor penentu
kesuksesan perkembangan perusahaan berteknologi tinggi ini. Dari hasil
analisis, terlihat bahwa cikal bakal PT. DI sudah dirintis sejak zaman Orde
Lama, kemudian didirikan dan mencapai masa kejayaan pada masa Orde Baru. Pada
awal Orde Reformasi, perusahaan ini sempat mengalami keterpurukan, namun sejak
tahun 2012 menemukan momen kebangkitan kembali. Faktor utama yang mendukung
kesuksesan maupun kemunduran PT. DI adalah dukungan tokoh dan kebijakan
pemerintah karena industri pesawat merupakan industri oligopoli yang tidak bisa
bergantung sepenuhnya pada mekanisme pasar. Faktor lain adalah kualifikasi yang
dimiliki oleh PT. DI itu sendiri sehingga ketika perusahaan ini bangkit
kembali, kepercayaan konsumen-konsumen dalam maupun luar negeri dapat diperoleh
dengan cepat.
Kata kunci: industri berteknologi tinggi,
industri pesawat terbang,faktor penentu kesuksesan
1.
PENDAHULUAN
Teknologi
telah menjadi salah satu mesin penggerak perekonomian suatu negara, di samping
sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya finansial. OECD membagi
industri manufaktur menjadi industri manufaktur dengan intensitas teknologi
rendah, menengah-rendah, menengah-tinggi, dan tinggi. Salah satu industri
manufaktur berintensitas teknologi tinggi yang eksis di Indonesia adalah
industri pesawat terbang. Oleh Menteri Riset danTeknologi Kabinet Pembangunan,
B.J. Habibie, industri pesawat terbang menjadi prioritas utama pembangunan
industri strategis pada era Orde Baru. Pendirian Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN) yang kini berubah nama menjadi PT. Dirgantara Indonesia (DI)
menjadi titik tolak kebangkitan industri berteknologi tinggi di Indonesia.Nama
Indonesia sempat diperhitungkan dalam industri pesawat internasional ketika
CN-235 muncul. Namun selepas krisis ekonomi, industri pesawat langsung
mengalami keterpurukan.
2.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Perkembangan
PT. DI di Indonesia akan dilihat berdasarkan lima periode seperti dijelaskan
sebagai berikut:
1. Periode 1914-1965:
Awal
Kemunculan Industri Pesawat Indonesia Cikal bakal industri pesawat Indonesia
sudah dimulai dari masa pra-kemerdekaan ketika negara inimasih di bawah
penjajahan Belanda. Pada mulanya hanya belanda yang memulai dalam perkembangan
ini dimulai hanya dari pembuatan uji tes atau lisensi penerbangan pesawat saja,
dari situ bangsa Indonesia memulai jejaknya dengan mecoba membuat pesawat yang
dipimpin oleh Tossin percobaan pembuatan tersebut berhasil mengejutkan dunia
karena kemampuannya melintasi samudera ke negara Belanda dan Cina.
Selepas
Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945, ambisi Indonesia untuk membuat pesawat
sendiri masih berlanjut. Pada masa ini, pesawat terutama dibutuhkan untuk
kepentingan pertahanan.Pada tahun 1946, dipionir oleh tiga orang anggota
Tentara Republik Indonesia-Angkatan Udara (TRI-AR) yaitu Wiweko Supono,
Nurtanio Pringgoadisurjo, dan Sumarsono, dibuatlah pesawat layang pertama yang
terbuat dari 100% bahan lokal dengan nama NWG-1. Walaupun dibuat secara
sederhana, pesawat ini menarik perhatian pimpinan mereka hingga digunakan untuk
keperluan latihan. Keahlian mereka berkembang hingga pada tahun 1948, Wiweko
berhasil mendesain pesawat bermesin pertama di Indonesia, dengan nama RI-X.
2. Periode 1966-1997: Akumulasi
Pengetahuan dan Transfer Teknologi
Kembalinya
B.J. Habibie ke Indonesia tidak lepas dari peran Soeharto yang kala itu
menjabat sebagai presiden menggantikan Soekarno. Presiden Soeharto memiliki
visi menguasai industri padat modal sebagai industri strategis dan menunjuk
Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada tahun 1978. Sebagai bagian
dari industri strategis, LIPNUR dan Pertamina melakukan merger menjadi Industri
Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) pada tanggal 5 April 1976 atas keputusan
Presiden Soeharto. Habibie menjadi presiden direktur IPTN dan ditunjuk sebagai
penanggung jawab pengembangan industri pesawat Indonesia. Dengan limpahan aset
dari negara, IPTN bertempat di lokasi seluas 45.000 m2 dengan pekerja sebanyak
860 orang.
Ambisi
Habibie untuk mengembangkan industri pesawat menuai kontroversi dari para
ekonom yang berpendapat bahwa seharusnya anggaran negara diprioritaskan untuk
industri pangan.Namun karena dukungan penuh dari Soeharto, misi Habibie agar
Indonesia menguasai teknologi pembuatan pesawat tetap berjalan.Perlindungan
terhadap produk pesawat dalam negeri ditunjukkan melalui PP No. 19 tahun 1966
yang melarang impor pesawat udara dan komponennya yang tidak sesuai syarat-syarat
standardisasi yang ditetapkan oleh Dewan Penerbangan dan Angkasa luar Nasional
Republik Indonesia (DEPANRI) dan melarang impor pesawat udara serta komponennya
yang sama atau sejenis dengan yang dihasilkan di dalam negeri.
Kebijakan-kebijakan penunjang juga diberlakukan seperti dispensasi dari
kebijakan pemerintah yang mengharuskan perusahaan BUMN menggunakan bahan baku
lokal, dan otoritas penuh untuk Habibie untuk mempengaruhi keputusan TNI dan
perusahaan penerbangan Garuda (McKendrick, 1992). Contoh intervensi yang pernah
dilakukan oleh Habibie terhadap Garuda adalah perintah untuk membeli mesin dari
General Electric untuk Boeing 747s dan mesin Rolls-Royce untuk Airbus A330s
pada tahun 1990, ketika Garuda berencana untuk membeli mesin dari Pratt &
Whitney. Hal ini dilakukan karena kedua perusahaan tersebut bekerja sama dengan
IPTN.
Di
bawah pimpinan Habibie, IPTN mendapatkan berbagai kontrak kerja sama dengan
perusahaan pesawat luar negeri seperti yang tercantum pada Tabel 1.Pada tahun
1975, proyek kerja sama luar negeri pertama dilakukan oleh IPTN dengan
Messerschmitt-Boelkow-Blohm GmbH (MBB), perusahaan pesawat Jerman tempat
Habibie bekerja sebelum kembali ke Indonesia, dan CASA, sebuah perusahaan
pesawat Spanyoldengan mendapatkan lisensi untuk memproduksi helikopter dan
pesawat. Lisensi selanjutnya didapatkan dari Aerospatiale of France dan Bell
Textron pada tahun 1977 dan 1982. Kerja sama dengan CASA kemudian berkembang
menjadi joint venture yang kelak menghasilkan produk pesawat penumpang 35 kursi
pertama di Indonesia, yaitu CN-235. Kerja sama-kerja sama ini dimanfaatkan oleh
IPTN untuk mendidik pekerja-pekerjanya dalam mendesain, memproduksi
komponen-komponen pesawat, hingga merakitnya.Ketekunan dalam mempelajari cara
memproduksi pesawat ini pada akhirnya menarik perusahaan pesawat besar di
Amerika Serikat, yaitu Boeing Corporation, untuk menandatangani perjanjian
subkontrak dengan IPTN untuk menghasilkan komponen pesawat B-737 dan B-767.
Selain dengan Boeing, IPTN juga menjadi perusahaan subkontrak untuk Fokker,
British Aerospace, dan Pratt & Whitney. Kerja sama teknis juga dijalin oleh
IPTN dengan General Electrics (GE) dan Grumman. Kerja sama dengan GE
menghasilkan Universal Maintenance Center (UMC), yaitu pusat perawatan dan
perbaikan pesawat serta helikopter.
3.
Periode 1998-2007: Rapor Merah
PT.
DI Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997, subsidi pemerintah untuk IPTN
dicabut sehingga sejak saat itu perusahaan ini harus berdiri di atas kaki
sendiri.Sebagai produsen pesawat yang baru merintis, tentunya belum banyak
pesanan pesawat yang datang. Ditambah lagi, pasar Asia Tenggara mengalami
kemunduran karena hampir semua negara di kawasan ini juga menderita krisis
ekonomi.Salah satu yang membuat IPTN bertahan adalah pesanan tetap dari
Kementerian Pertahanan, namun jumlah penjualannya tidak cukup untuk menutup
biaya operasional perusahaan. Bisnis yang dijalankan oleh IPTN hanya seputar
pembuatan komponen atau perawatan dan perbaikan pesawat. Akibatnya, IPTN
mengalami kerugian hingga Rp 7,25 triliun dan harus menunggak utang sebesar Rp
3 triliun (Rahman, 2011).
Untuk
merestrukturisasi IPTN, Presiden Abdurrahman Wahid mengutus Rizal Ramli, Kepala
Bulog saat itu untuk membenahi manajemen perusahaan ini.Misi Rizal adalah untuk
mengubah IPTN sebagai industri berbiaya tinggi menjadi industri yang kompetitif
seperti di 21 Cina, Brazil, atau India (Masud, 2008). Sebagai simbol dari
perubahan paradigma ini, Gus Dur mengubah nama perusahaan ini menjadi PT.
Dirgantara Indonesia (PT. DI). Pemberian nama baru ini berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 526/KMK.05/2000 Tanggal 20 Desember 2000 dan
Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 771/KMK.04/2001 Tanggal 1 Mei 2001
(Tyassari, 2008). Rizal mengubah seluruh peralatan dan mesin produksi berbiaya
tinggi menjadi lebih murah agar biaya produksi dapat ditekan dan PT. DI dapat
kembali menghasilkan profit. Selain itu, manajemen puncak PT. DI pun diganti
dengan orang-orang didikan Habibie yang menguasai aspek teknis pembuatan
pesawat maupun yang memiliki jaringanluas di industri pesawat internasional.
Restrukturisasi ini mendorong pemulihan kondisi finansial PT. DI dengan
meningkatnya penjualan dari Rp 508 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp 1,4
trilyun pada tahun 2001. Bahkan perusahaan ini dapat menghasilkan keuntungan
sebesar Rp 11 milyar pada tahun 2001, setelah dua tahun sebelumnya mengalami
kerugian sebesar Rp 75 milyar (Masud, 2008).
Sayangnya
ketika tahun 2001 Presiden Megawati menjabat, PT. DI lagi-lagi mengalami
penurunan kinerja. Hal ini disebabkan oleh penggantian manajemen perusahaan ini
yang sebelumnya sudah solid, dengan orang-orang baru yang tidak memiliki
jaringan bisnis dengan pelaku usaha di industri pesawat terbang internasional
(Masud, 2008). Akibatnya jumlah penjualan PT. DI kembali mengalami penurunan,
bahkan perusahaan ini mengalami kerugian hingga 1,5 trilyun. Tahun 2004 keadaan
makin memburuk. Untuk menyelamatkan perusahaan ini, terpaksa dilakukan
pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 6.651 orang. Ini merupakan pengurangan
pegawai terbesar yang pernah dilakukan oleh PT. DI.Terbebani utang yang besar,
PT. DI tidak mampu membayar gaji pegawainya tepat waktu, juga tidak mampu
membayar kompensasi bagi mantan-mantan pegawai yang dirumahkan. Banyak
tenagatenaga ahli pesawat terbaik di negeri ini yang akhirnya mengundurkan diri
dan direkrut oleh perusahaan pesawat luar negeri yang menjadi rekan kerja sama
PT. DI, seperti Boeing, British Aerospace, dan CASA.
PT.
DI mencapai titik terendah pada tahun 2007, ketika Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan kepailitan pada PT. DI
karena kompensasi dan dana pensiun mantan pegawai perusahaan ini belum juga
dibayarkan. Permohonan pailit diajukan oleh tiga orang mantan karyawan PT.
DI.Tetapi PT. DI mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan keputusan pailit
ditolak karena sebagai perusahaan BUMN, permohonan pailit PT. DI hanya bisa
diajukan oleh Menteri Keuangan. Kasus ini membuat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono turun tangan untuk memperbaiki PT. DI. Pada tahun yang sama,
manajemen perusahaan produsen pesawat ini kembali diganti dan Budi Santoso
ditunjuk menjadi Direktur Utama.
4. Kebangkitan produksi pesawat nasional : N219
Pengembangan pesawat
N219 menjadi
langkah awal pembangunan pesawat tranportasi nasional.
Dalam hal ini selaku pembuat PT DI (Dirgantara Indonesia),
mencoba untuk membangkitan pasar produksi nasional dengan cara membuat pesawat
produk dalam negeri, hal ini tentu menjadi kabar gembira untuk bangsa indonesia
karena setelah sekian lama dalam wacana pembuatan pesawat dan akhirnya untuk
kali ini PT DI berhasil membuat pesawat produk karya anak bangsa.
N219
merupakan pesawat perintis berpenumpang 19 orang. Pesawat ini merupakan hasil
pengembangan Lapan dan PT DI. Lapan sebagai instansi pemerintah yang diamanatkan
untuk penelitian dan pengembangan kedirgantaraan melalui Pusat Teknologi
Penerbangan mengalokasikan anggaran dengan melibatkan engineer di bidang
aerodinamika, struktur, propulsi dan avionik untuk mengembangkan N219. Pesawat
ini diharapkan akan memenuhi kebutuhan untuk penerbangan di daerah terpencil
dengan landasan pendek. Pesawat N-219 adalah pesawat
multifungsi bermesin dua untuk dioperasikan di daerah-daerah terpencil. Pesawat
ini terbuat dari logam dan dirancang untuk mengangkut penumpang maupun kargo.
N219 disebut-sebut bakal menjadi kebangkitan industri pesawat
terbang nasional. Ide, model, dan desain pesawat ini dirancang oleh putra-putra
bangsa. Begitu juga dengan komponennya yang 60% akan dibuat di dalam negeri. Jumlah
part N219 mencapai 5 ribu part kecil.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim,
2011. PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Retrieved September 23, 2013, from http://www.indonesian-aerospace.com/
Anonim,
2012. Jajaran BUMN dengan Rugi Paling Besar. Retrieved Oktober 7, 2013, from
detikfinance: http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybernews/detail.aspx?x=Economy&y=cybernews%7
C0%7C0%7C3%7C19421
Anonim,
2012. PT Dirgantara Indonesia lakukan pembenahan besar. Retrieved Oktober 7,
2013, from http://www.antaranews.com/berita/346727/pt-dirgantara-indonesia-lakukanpembenahan-besar
Amir,
S., 2007. Nationalist rhetoric and technological development: The Indonesian
aircraft industry in the New Order regime. Technology in Society 29, 283-293.
Kementerian
Perdagangan, 2012. Retrieved September 23, 2013, from Indonesian Export/Import:
http://www.kemendag.go.id/en/economic-profile/indonesia-export-import
Kementerian
Perindustrian, 2012. Perkembangan Indikator Kinerja Industri Besar dan Sedang
Indonesia. Retrieved September 23, 2013, from
http://kemenperin.go.id/statistik/ibs_indikator.phpMasud, D. A., & Mulyadi,
E. (2008). Rizal Ramli, lokomotif perubahan: langkah strategis dan kebijakan
terobosan, 2000- 2001. Jakarta: Cipta Citra Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.