Laman

Minggu, 03 September 2017

PESAWAT NASIONAL



KEBANGKITAN KEMBALI INDUSTRI PESAWAT NASIONAL: PERJALANAN PT. DIRGANTARA INDONESIA
ABSTRAK


Teknologi telah menjadi salah satu mesin penggerak perekonomian suatu Negara industri manufaktur dengan intensitas teknologi tinggi menjadi mesin pertumbuhan negara-negara maju.Salah satu dari sedikit industri manufaktur berintensitas teknologi tinggi yang eksis di Indonesia adalah industri pesawat terbang.PT.Dirgantara Indonesia (PT. DI) yang merupakan satu-satunya perusahaan produsen pesawat terbang di Indonesia memiliki sejarah perjalanan yang panjang mulai dari masa Orde Baru hingga kini.Studi ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan PT. DI sebagai satu-satunya perusahaan nasional produsen pesawat terbang di Indonesia, mulai dari awal perkembangan, masa kejayaan, masa keterpurukan, hingga kini mulai bangkit kembali; serta mengidentifikasi faktor-faktor penentu kesuksesan perkembangan perusahaan berteknologi tinggi ini. Dari hasil analisis, terlihat bahwa cikal bakal PT. DI sudah dirintis sejak zaman Orde Lama, kemudian didirikan dan mencapai masa kejayaan pada masa Orde Baru. Pada awal Orde Reformasi, perusahaan ini sempat mengalami keterpurukan, namun sejak tahun 2012 menemukan momen kebangkitan kembali. Faktor utama yang mendukung kesuksesan maupun kemunduran PT. DI adalah dukungan tokoh dan kebijakan pemerintah karena industri pesawat merupakan industri oligopoli yang tidak bisa bergantung sepenuhnya pada mekanisme pasar. Faktor lain adalah kualifikasi yang dimiliki oleh PT. DI itu sendiri sehingga ketika perusahaan ini bangkit kembali, kepercayaan konsumen-konsumen dalam maupun luar negeri dapat diperoleh dengan cepat.
 Kata kunci: industri berteknologi tinggi, industri pesawat terbang,faktor penentu kesuksesan

1.      PENDAHULUAN
Teknologi telah menjadi salah satu mesin penggerak perekonomian suatu negara, di samping sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya finansial. OECD membagi industri manufaktur menjadi industri manufaktur dengan intensitas teknologi rendah, menengah-rendah, menengah-tinggi, dan tinggi. Salah satu industri manufaktur berintensitas teknologi tinggi yang eksis di Indonesia adalah industri pesawat terbang. Oleh Menteri Riset danTeknologi Kabinet Pembangunan, B.J. Habibie, industri pesawat terbang menjadi prioritas utama pembangunan industri strategis pada era Orde Baru. Pendirian Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang kini berubah nama menjadi PT. Dirgantara Indonesia (DI) menjadi titik tolak kebangkitan industri berteknologi tinggi di Indonesia.Nama Indonesia sempat diperhitungkan dalam industri pesawat internasional ketika CN-235 muncul. Namun selepas krisis ekonomi, industri pesawat langsung mengalami keterpurukan.
2.      HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan PT. DI di Indonesia akan dilihat berdasarkan lima periode seperti dijelaskan sebagai berikut:
1. Periode 1914-1965:
Awal Kemunculan Industri Pesawat Indonesia Cikal bakal industri pesawat Indonesia sudah dimulai dari masa pra-kemerdekaan ketika negara inimasih di bawah penjajahan Belanda. Pada mulanya hanya belanda yang memulai dalam perkembangan ini dimulai hanya dari pembuatan uji tes atau lisensi penerbangan pesawat saja, dari situ bangsa Indonesia memulai jejaknya dengan mecoba membuat pesawat yang dipimpin oleh Tossin percobaan pembuatan tersebut berhasil mengejutkan dunia karena kemampuannya melintasi samudera ke negara Belanda dan Cina.

Selepas Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945, ambisi Indonesia untuk membuat pesawat sendiri masih berlanjut. Pada masa ini, pesawat terutama dibutuhkan untuk kepentingan pertahanan.Pada tahun 1946, dipionir oleh tiga orang anggota Tentara Republik Indonesia-Angkatan Udara (TRI-AR) yaitu Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan Sumarsono, dibuatlah pesawat layang pertama yang terbuat dari 100% bahan lokal dengan nama NWG-1. Walaupun dibuat secara sederhana, pesawat ini menarik perhatian pimpinan mereka hingga digunakan untuk keperluan latihan. Keahlian mereka berkembang hingga pada tahun 1948, Wiweko berhasil mendesain pesawat bermesin pertama di Indonesia, dengan nama RI-X.
2. Periode 1966-1997: Akumulasi Pengetahuan dan Transfer Teknologi
Kembalinya B.J. Habibie ke Indonesia tidak lepas dari peran Soeharto yang kala itu menjabat sebagai presiden menggantikan Soekarno. Presiden Soeharto memiliki visi menguasai industri padat modal sebagai industri strategis dan menunjuk Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada tahun 1978. Sebagai bagian dari industri strategis, LIPNUR dan Pertamina melakukan merger menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) pada tanggal 5 April 1976 atas keputusan Presiden Soeharto. Habibie menjadi presiden direktur IPTN dan ditunjuk sebagai penanggung jawab pengembangan industri pesawat Indonesia. Dengan limpahan aset dari negara, IPTN bertempat di lokasi seluas 45.000 m2 dengan pekerja sebanyak 860 orang.
Ambisi Habibie untuk mengembangkan industri pesawat menuai kontroversi dari para ekonom yang berpendapat bahwa seharusnya anggaran negara diprioritaskan untuk industri pangan.Namun karena dukungan penuh dari Soeharto, misi Habibie agar Indonesia menguasai teknologi pembuatan pesawat tetap berjalan.Perlindungan terhadap produk pesawat dalam negeri ditunjukkan melalui PP No. 19 tahun 1966 yang melarang impor pesawat udara dan komponennya yang tidak sesuai syarat-syarat standardisasi yang ditetapkan oleh Dewan Penerbangan dan Angkasa luar Nasional Republik Indonesia (DEPANRI) dan melarang impor pesawat udara serta komponennya yang sama atau sejenis dengan yang dihasilkan di dalam negeri. Kebijakan-kebijakan penunjang juga diberlakukan seperti dispensasi dari kebijakan pemerintah yang mengharuskan perusahaan BUMN menggunakan bahan baku lokal, dan otoritas penuh untuk Habibie untuk mempengaruhi keputusan TNI dan perusahaan penerbangan Garuda (McKendrick, 1992). Contoh intervensi yang pernah dilakukan oleh Habibie terhadap Garuda adalah perintah untuk membeli mesin dari General Electric untuk Boeing 747s dan mesin Rolls-Royce untuk Airbus A330s pada tahun 1990, ketika Garuda berencana untuk membeli mesin dari Pratt & Whitney. Hal ini dilakukan karena kedua perusahaan tersebut bekerja sama dengan IPTN.
Di bawah pimpinan Habibie, IPTN mendapatkan berbagai kontrak kerja sama dengan perusahaan pesawat luar negeri seperti yang tercantum pada Tabel 1.Pada tahun 1975, proyek kerja sama luar negeri pertama dilakukan oleh IPTN dengan Messerschmitt-Boelkow-Blohm GmbH (MBB), perusahaan pesawat Jerman tempat Habibie bekerja sebelum kembali ke Indonesia, dan CASA, sebuah perusahaan pesawat Spanyoldengan mendapatkan lisensi untuk memproduksi helikopter dan pesawat. Lisensi selanjutnya didapatkan dari Aerospatiale of France dan Bell Textron pada tahun 1977 dan 1982. Kerja sama dengan CASA kemudian berkembang menjadi joint venture yang kelak menghasilkan produk pesawat penumpang 35 kursi pertama di Indonesia, yaitu CN-235. Kerja sama-kerja sama ini dimanfaatkan oleh IPTN untuk mendidik pekerja-pekerjanya dalam mendesain, memproduksi komponen-komponen pesawat, hingga merakitnya.Ketekunan dalam mempelajari cara memproduksi pesawat ini pada akhirnya menarik perusahaan pesawat besar di Amerika Serikat, yaitu Boeing Corporation, untuk menandatangani perjanjian subkontrak dengan IPTN untuk menghasilkan komponen pesawat B-737 dan B-767. Selain dengan Boeing, IPTN juga menjadi perusahaan subkontrak untuk Fokker, British Aerospace, dan Pratt & Whitney. Kerja sama teknis juga dijalin oleh IPTN dengan General Electrics (GE) dan Grumman. Kerja sama dengan GE menghasilkan Universal Maintenance Center (UMC), yaitu pusat perawatan dan perbaikan pesawat serta helikopter.
       3. Periode 1998-2007: Rapor Merah
PT. DI Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997, subsidi pemerintah untuk IPTN dicabut sehingga sejak saat itu perusahaan ini harus berdiri di atas kaki sendiri.Sebagai produsen pesawat yang baru merintis, tentunya belum banyak pesanan pesawat yang datang. Ditambah lagi, pasar Asia Tenggara mengalami kemunduran karena hampir semua negara di kawasan ini juga menderita krisis ekonomi.Salah satu yang membuat IPTN bertahan adalah pesanan tetap dari Kementerian Pertahanan, namun jumlah penjualannya tidak cukup untuk menutup biaya operasional perusahaan. Bisnis yang dijalankan oleh IPTN hanya seputar pembuatan komponen atau perawatan dan perbaikan pesawat. Akibatnya, IPTN mengalami kerugian hingga Rp 7,25 triliun dan harus menunggak utang sebesar Rp 3 triliun (Rahman, 2011).
Untuk merestrukturisasi IPTN, Presiden Abdurrahman Wahid mengutus Rizal Ramli, Kepala Bulog saat itu untuk membenahi manajemen perusahaan ini.Misi Rizal adalah untuk mengubah IPTN sebagai industri berbiaya tinggi menjadi industri yang kompetitif seperti di 21 Cina, Brazil, atau India (Masud, 2008). Sebagai simbol dari perubahan paradigma ini, Gus Dur mengubah nama perusahaan ini menjadi PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). Pemberian nama baru ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 526/KMK.05/2000 Tanggal 20 Desember 2000 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 771/KMK.04/2001 Tanggal 1 Mei 2001 (Tyassari, 2008). Rizal mengubah seluruh peralatan dan mesin produksi berbiaya tinggi menjadi lebih murah agar biaya produksi dapat ditekan dan PT. DI dapat kembali menghasilkan profit. Selain itu, manajemen puncak PT. DI pun diganti dengan orang-orang didikan Habibie yang menguasai aspek teknis pembuatan pesawat maupun yang memiliki jaringanluas di industri pesawat internasional. Restrukturisasi ini mendorong pemulihan kondisi finansial PT. DI dengan meningkatnya penjualan dari Rp 508 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp 1,4 trilyun pada tahun 2001. Bahkan perusahaan ini dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp 11 milyar pada tahun 2001, setelah dua tahun sebelumnya mengalami kerugian sebesar Rp 75 milyar (Masud, 2008).
Sayangnya ketika tahun 2001 Presiden Megawati menjabat, PT. DI lagi-lagi mengalami penurunan kinerja. Hal ini disebabkan oleh penggantian manajemen perusahaan ini yang sebelumnya sudah solid, dengan orang-orang baru yang tidak memiliki jaringan bisnis dengan pelaku usaha di industri pesawat terbang internasional (Masud, 2008). Akibatnya jumlah penjualan PT. DI kembali mengalami penurunan, bahkan perusahaan ini mengalami kerugian hingga 1,5 trilyun. Tahun 2004 keadaan makin memburuk. Untuk menyelamatkan perusahaan ini, terpaksa dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 6.651 orang. Ini merupakan pengurangan pegawai terbesar yang pernah dilakukan oleh PT. DI.Terbebani utang yang besar, PT. DI tidak mampu membayar gaji pegawainya tepat waktu, juga tidak mampu membayar kompensasi bagi mantan-mantan pegawai yang dirumahkan. Banyak tenagatenaga ahli pesawat terbaik di negeri ini yang akhirnya mengundurkan diri dan direkrut oleh perusahaan pesawat luar negeri yang menjadi rekan kerja sama PT. DI, seperti Boeing, British Aerospace, dan CASA.
PT. DI mencapai titik terendah pada tahun 2007, ketika Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan kepailitan pada PT. DI karena kompensasi dan dana pensiun mantan pegawai perusahaan ini belum juga dibayarkan. Permohonan pailit diajukan oleh tiga orang mantan karyawan PT. DI.Tetapi PT. DI mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan keputusan pailit ditolak karena sebagai perusahaan BUMN, permohonan pailit PT. DI hanya bisa diajukan oleh Menteri Keuangan. Kasus ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan untuk memperbaiki PT. DI. Pada tahun yang sama, manajemen perusahaan produsen pesawat ini kembali diganti dan Budi Santoso ditunjuk menjadi Direktur Utama.

      4. Kebangkitan produksi pesawat nasional : N219
Pengembangan pesawat N219 menjadi langkah awal pembangunan pesawat tranportasi nasional.

Dalam hal ini selaku pembuat PT DI (Dirgantara Indonesia), mencoba untuk membangkitan pasar produksi nasional dengan cara membuat pesawat produk dalam negeri, hal ini tentu menjadi kabar gembira untuk bangsa indonesia karena setelah sekian lama dalam wacana pembuatan pesawat dan akhirnya untuk kali ini PT DI berhasil membuat pesawat produk karya anak bangsa.

            N219 merupakan pesawat perintis berpenumpang 19 orang. Pesawat ini merupakan hasil pengembangan Lapan dan PT DI. Lapan sebagai instansi pemerintah yang diamanatkan untuk penelitian dan pengembangan kedirgantaraan melalui Pusat Teknologi Penerbangan mengalokasikan anggaran dengan melibatkan engineer di bidang aerodinamika, struktur, propulsi dan avionik untuk mengembangkan N219. Pesawat ini diharapkan akan memenuhi kebutuhan untuk penerbangan di daerah terpencil dengan landasan pendek. Pesawat N-219 adalah pesawat multifungsi bermesin dua untuk dioperasikan di daerah-daerah terpencil. Pesawat ini terbuat dari logam dan dirancang untuk mengangkut penumpang maupun kargo.
N219 disebut-sebut bakal menjadi kebangkitan industri pesawat terbang nasional. Ide, model, dan desain pesawat ini dirancang oleh putra-putra bangsa. Begitu juga dengan komponennya yang 60% akan dibuat di dalam negeri. Jumlah part N219 mencapai 5 ribu part kecil. 




















DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011. PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Retrieved September 23, 2013, from http://www.indonesian-aerospace.com/

Anonim, 2012. Jajaran BUMN dengan Rugi Paling Besar. Retrieved Oktober 7, 2013, from detikfinance: http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybernews/detail.aspx?x=Economy&y=cybernews%7 C0%7C0%7C3%7C19421

Anonim, 2012. PT Dirgantara Indonesia lakukan pembenahan besar. Retrieved Oktober 7, 2013, from http://www.antaranews.com/berita/346727/pt-dirgantara-indonesia-lakukanpembenahan-besar

Amir, S., 2007. Nationalist rhetoric and technological development: The Indonesian aircraft industry in the New Order regime. Technology in Society 29, 283-293.

Kementerian Perdagangan, 2012. Retrieved September 23, 2013, from Indonesian Export/Import: http://www.kemendag.go.id/en/economic-profile/indonesia-export-import

Kementerian Perindustrian, 2012. Perkembangan Indikator Kinerja Industri Besar dan Sedang Indonesia. Retrieved September 23, 2013, from http://kemenperin.go.id/statistik/ibs_indikator.phpMasud, D. A., & Mulyadi, E. (2008). Rizal Ramli, lokomotif perubahan: langkah strategis dan kebijakan terobosan, 2000- 2001. Jakarta: Cipta Citra Persada.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.