.

Rabu, 09 Desember 2015

Kerusakan Alam di Samarinda Akibat Eksploitasi Tambang

Samarinda merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Timur yang luas wilayahnya 718 km persegi atau 0,37 persen dari luas keseluruhan Kalimantan Timur. Terdiri dari sepuluh kecamatan: Samarinda Utara, Samarinda Ulu, Samarinda Ilir, Samarinda Seberang, Sungai Kunjang, Palaran, Sambutan, Sungai Pinang, Samarinda Kota, dan Loa Janan Ilir.
Wilayah Samarinda berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Tambang di Samarinda, Kalimantan Timur,  mencangkup 70% dari wilayah tersebut, mencemarkan air, menimbulkan banjir dan kurang memberikan kesejahteraan kepada rkyat dari segi ekonomi. Setiap menit, kapal-kpal berisi gunungn batu bara berlalu di atas Sungai Mahakam yang tercemar, berlayar menuju pembangkit-pembangkit listrik di Cina dan India. Perburuan batu bara yang telah menarik penambang internasional ke Kalimantan Timur telah merusak ibukota provinsi Samarinda, yang beresiko ditelan pertambangan jika eksploitasi deosit mineral itu berkembang lebih jauh. Tambang tersebut telah memaksa desa-des dan sekolah untuk menjauhi longsoran lumpur yang beracun dan sumber-sumber air yang tercemar.
Kerusakan hutan di sekitar kota untuk membuka jalan bagi tambang juga telah menghancurkan penahan alami melawan banjir, menimbulkan air bah pad saat musim hujan. Di daerah penghasil barang tambang, lingkungan yang sehat dan bersih yang merupakan hak asasi setiap orang menjadi barang langka. Bahkan daerah penghasil juga merasakan ketidakadilan seperti kebutuhan energi akan listrik dari batubara masih kurang pasokannya.
Dan meski 200 juta ton batu bara digali dan dikirim dari Kalimantan Timur setiap tahun, ibukota masih sering mengalami listrik padam selama berjam-berjam karena pembangkit listrik yang sudah tua terus bermasalah.

Kerusakan Tambang Menyebar
Kerusakan lingkungan di wilayah provinsi Kalimantan Timur sudah masuk dalam kategori kritis. Gambaran yang suram dari Samarinda ini sangat jauh dari masa kejayaan kota ini dulu, sebuah hutan rindang degan orangutan serta burung-burung eksotis, banyak diantaranya hnya bisa ditemukan hanya bisa ditemukan di Kalimantan. Kisah ini umum terjadi di pulau ketiga terbesar di dunia tersebut, yang suatu kali hampir tertutupi oleh pohon, namun sekaragng telah kehilangan setengah hutannya, menurut lembaga perlindungan alam liar WWF. Seperti di Amazon, hutan hujan Kalimantan berlaku seperi busa, menyerap karbon yang diakibatkan perubahan iklim dari atmosfer.
Dari tinjauan konservasi, tambang di Samarinda merupakan kesalahan besar karena dalam konservasi harus ada luasan minimal 30 persen berupa hutan. Dalam kasus Samarinda, 71 persen telah dibuka selebihnya sudah terbagi untuk permukiman. Jadi, 30 persen sudah hilang. Kondisi Samarinda memang memprihatinkan, hampir tiga perempat luasannya digunakan sebagai wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 dapat dijadikan acuan. Luas wilayah pertanian sawah dan bukan sawah di Samarinda seluas 34.782 hektar sementara areal perumahan seluas 6.000 hektar. Dengan luas tambang di Samarinda sekitar 50,735.76 maka sudah dipastikan sekitar 19 ribu hektar yang posisi bertabrakan alias tumpang tindih yaitu pertanian, perumahan, dan pertambangan. Kondisi ini tentunya melenceng jauh. Idealnya, tambang yang ada di Samarinda ini tidak diekspoitasi. Harusnya, ada ada tata ruang yang disepakati.
Komari bersamaan dengan 18 petani lainnya telah mengajukan tuntutan hukum melawan pejabat-pejabat pemerintah, menyalahkan mereka karena mencemari sumber-sumber air dan mengizinkan pertambangan yang marak. Mereka tidak mencari kompensasi, hanya meminta pemerintah mewajibkan sebuah perusahaan batu bara dekat rumah-rumah mereka untuk membersihkan pencemaran air dan menyediakan layanan keehatan.
Samarinda dirusak para Kroni Udin, yang memiliki dan mengendarai mobil sewaan dan lahi di Samarinda 30 tahun yang lalu, mengatakan kota itu telah berubah sama sekali.
Dampak yang paling terasa akibat kerusakan lingkungan tersebut yakni terjadi pergeseran siklus lima tahunan di Kota Samarinda serta kerusakan jalan.
Meski ada kerusakan, Kalimantan terus menarik pencinta alam dari seluruh dunia untuk melihat hutan hujan tertua lebih dari 1.400 spesies binatang dn 15.000 jenis tumbuhan.
Namun para ahli lingkungan mengingatkan mungkin tidak akan banyak yang tersisa jika kerusakan lingkungan terus terjadi dengan kecepatan seperti sekarang ini. Menyadari bahwa permasalahan kerusakan lingkungan hidup yang demikian kompleks, diperlukan kebijakan dan strategi untuk meningkatkan penanganan terpadu dengan melibatkan stakeholders dan instansi teknis terkait bersama-sama untuk mencegah, menanggulangi dan memulihkan kerusakan lingkungan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.