.

Rabu, 16 Desember 2015

PULUHAN TAHUN WARGA JAMBI HIDUP TANPA AIR BERSIH

Air dan kehidupan tidak bisa terpisahkan. Membicarakan air berarti membicarakan kehidupan. Pernyataan itu harus tegas dan menjadi perhatian setiap kompnonen bangsa.
Pernyataan ini sengaja disampaikan sebagai bentuk sikap Walhi Jambi.
Sebagai sikap sebagai organisasi advokasi lingkungan hidup, Walhi Jambi secara konsisten menyatakan bahwa persoalan air merupakan persoalan pengelolaan sumber daya. Banjir, kekeringan, penggundulan hutan, pencemaran dan berbagai persoalan pengelolaan sumber daya alam merupakan bentuk sikap pongah manusia didalam melihat alam. Manusia yang ditakdirkan sebagai pemimpin didunia dan mempunyai akal pikiran yang tidak terdapat didalam jenis ciptaan Tuhan lainnya, disatu sisi dapat menjadi perusak lingkungan. Kerusakan alam lebih cepat dan lebih berbahaya daripada daya dukung lingkungan dalam membenahi alam. Manusia juga dengan berbagai akal pikiran ternyata juga menjadi salah satu sebab dalam merusak alam. Manusia juga yang paling merasakan dampak langsung dari salah kelola sumber daya alam.

Proyek pipanisasi air bersih senilai Rp 408 miliar yang terbengkalai.
Gordon, 34 tahun nyaris putus asa berharap air bersih. Sepanjang hidupnya, warga Desa Taman Raja, Kecamatan Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjab Barat) ini setiap hari mandi dan hidup bersama air keruh, kekuning-kuningan, berminyak, serta berbau tak sedap.
Tanjab Barat adalah daerah berawa dan dekat laut. Sebagian besar airnya berasa asin atau asam, memiliki tingkat keasaman (pH) tinggi dan berkadar zat besi (Fc) di atas ambang batas toleransi. “Kalau kita pakai sabun dan shampoo, busanya tak ada sama sekali, kalah sama air. Bila digunakan untuk menanak nasi, airnya berwarna kehijau-hijauan,” kata Gordon kepada Mongabay-Indonesia, pada 8 Desember 2013 lalu.
Untuk menggosok gigi, minum dan memasak, masyarakat Tanjab Barat sangat bergantung pada air hujan. Setiap rumah memiliki drum-drum berukuran jumbo atau ember dalam jumlah banyak.
Saking seringnya mengonsumsi air hujan, ada anekdot yang umum dibicarakan: “Orang Tanjab Barat itu gampang dikenali. Tengok saja giginya. Kalau ada yang ompong atau rusak, nah itu pasti orang sana!” Beberapa penelitian menyebutkan bahwa mengonsumsi air hujan dalam jangka panjang bisa merusak gigi dan tulang.
Tanjab Barat terbagi dua bagian: hulu dan hilir. Di hulu ada enam kecamatan: Renah Mendaluh, Merlung, Muara Papalik, Tebing Tinggi, Batang Asam, dan Tungkal Ulu. Sementara di hilir terdapat tujuh kecamatan: Betara, Kuala Betara, Bram Itam, Pengabuan, Seberang Kota, Tungkal Ilir, dan Senyerang.
Ada perbedaan antara hilir dan hulu. Di hulu masih mendingan. Terutama masyarakat di empat kecamatan: Merlung, Tungkal Ulu, Muara Papalik, dan Batang Asam, masih mampu menghasilkan air tanah yang layak. Masih bisa mengandalkan sumur gali sedalam 10 meter. Namun airnya mudah kering bila musim kemarau tiba.
Air ledeng hanya dapat dinikmati sekitar 150 kepala keluarga yang tinggal di Desa Pematang Pauh dan Kelurahan Pelabuhan Dagang – keduanya berada di Kecamatan Tungkal Ulu. Airnya berasal dari sumur bawah tanah. Sementara dua kecamatan lainnya: Tebing Tinggi dan Renah Mendaluh sangat sulit mendapatkan air bersih. Mereka hanya mengandalkan air hujan.
Sebelum era tahun 90-an, masyarakat di wilayah hulu ini masih bisa bergantung dengan air Sungai Pengabuan. “Ketika kecil, kami terbiasa minum langsung dari sungai. Sekarang tak bisa lagi. Air sungai sudah tercemar,” ujar Gordon yang tinggal di sana sejak tahun 1989 silam. Praktis hanya warga Kecamatan Batang Asam yang bisa mengonsumsi air Sungai Pengabuan karena terletak di hulu sungai.
Pabrik pengolahan kelapa sawit di Tungkal Ulu adalah PT Dasa Anugrah Sejati, PT Inti Indosawit Subur, PT Mitra Sawit Jambi, PT Citrakoprasindo Tani, PT Trimitra Lestari, PT Rudy Agung Agra Laksana, PT Bakrie Sumatra Platantion, PT Agrowiyana, PT Makin Group, dan PT Tusau. Plus satu pabrik bubur kertas yakni PT Lontar Papyrus Pulp & Paper – anak perusahaan Sinarmas Group.
Menurut Gordon sejak masuknya perusahaan bubur kertas dan kelapa sawit, Sungai Pengabuan tercemar. Airnya hitam pekat. “Kami sudah dikepung kebun sawit, perusahaan, dan hutan tanaman industri. Tanaman-tanaman itu benar-benar menghisap air tanah. Mungkin jika tak ada mereka, air di sini tak mudah kering kala kemarau,” katanya mengeluh.
Kecamatan Tebing Tinggi adalah kawasan yang paling kesulitan air bersih. Anju Saragih, 29 tahun yang bermukim di Desa Purwodadi, Kecamatan Tebing Tinggi mengatakan bahwa setiap hari mereka membeli air bersih. Sebelum tahun 2004, mereka masih bisa memiliki sumur sedalam 3 meter. Kini, mereka mengandalkan sumur bawah tanah sedalam minimal 50 meter. “Itupun terancam kering jika kemarau tiba,” katanya kepadaMongabay Indonesia pada 9 Desember 2013 lalu.
Air bersih semakin sulit, kata Anju, setelah PT PetroChina melakukan pengeboran. Sekitar empat sumur migas hanya berjarak dua kilometer dari desanya. “Bila hujan, aroma busuk tercium dari pabrik PT Lontar. Padahal jaraknya jauh, sekitar 15 kilometer,” ujar Anju.
Namun bagi Arwin, 31 tahun, warga Tebing Tinggi mengaku setiap hari mereka rata-rata mesti mengeluarkan biaya Rp 100 ribu. Untuk membeli 10 drum air. Satu drum berukuran 200 liter air dijual seharga Rp 10 ribu. Setiap hari ada beberapa mobil yang khusus menjual air dari daerah tetangga Tebing Tinggi.
Penjual air memiliki sumur bawah tanah sedalam hingga lebih 100 meter. Airnya sedikit berasa asam, agak kekuningan serta agak berbau. Tapi lumayanlah buat minum, mandi, dsb. “Kami di Tebing sama sekali tak bisa membuat membuat sumur. Sumur apapun itu tak ada airnya. Jadi ya terpaksa beli,” kata Arwin kepada Mongabay Indonesia lewat telepon selulernya, pada 10 Desember 2013 lalu.
Sementara di hilir, mendapatkan air bersih lebih sulit lagi. Warga harus harus merogoh kocek dalam-dalam. Kenapa? Karena minimal harus sedalam 240 meter. Jika kurang dari itu, air masih berbau dan tak bisa dikonsumsi buat minum.
Sementara berharap air ledeng dari PDAM Tirta Pengabuan masyarakat nyaris putus asa. Hampir setiap hari warga komplain bahwa air ledengnya kuning dan berbau bahkan tersendat-sendat mengalir ke rumah. Sejak puluhan tahun lalu pemerintah Tanjab Barat memprogramkan proyek pengadaan air bersih. Mulai dari pembuat intake, mesin penyedot, pembersih, sampai ke pipa penyuplai ke rumah-rumah warga. Total sudah hampir Rp 500 miliar dana APBD dan APBN dihabiskan merancang proyek air bersih.
Berganti bupati, berganti pula proyek yang diluncurkan dan setiap proyek selalu menyisakan masalah. Yang sangat mencolok adalah dana yang dianggarkan dengan pola tahun jamak atau multi years pada 2008-2010 dengan total nilai Rp 408 miliar.
Sudah setahun lebih masa pengerjaan proyek itu berakhir, tetapi air yang diharapkan datang dari hulu Sungai Pengabuan tak kunjung masuk ke rumah-rumah penduduk. Pipa-pipa hitam ukuran besar tidak terpasang keseluruhan dan dibiarkan berserakan. Sebagian yang sudah terpasang tampak tidak sempurna, nongol ke permukaan tanah.
Reservoir atau bak penambungan air pun dibiarkan bagai tong sampah raksasa. Mesin pemompa dan penyedot air yang sudah dibeli kini diparkir di gedung Dinas Pekerjaan Umum. Kenapa bisa proyek bernilai setengah trilun itu terbengkalai?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.