Aksi teror dan bom bunuh diri di Paris saat sebagian
warga sedang menikmati konser musik dan sepak bola telah melahirkan reaksi dan
kutukan yang keras dari pemerintah Prancis (dan sekutu-sekutunya). Aksi di
Jumat kelabu, 13 November 2015 itu mengundang reaksi pengecaman terhadap
kelompok radikal Islam bernama ISIS.
Beda Episteme
Orang pun bertanya, apakah tragedi semacam ini
adalah sebuah tindakan teror atau sebuah tindakan terpuji atas nama agama
dan/ideologi tertentu? Jawabannya tidak sekadar mengembalikannya kepada pemilik
episteme masing-masing, karena itu akan menyulitkan upaya mencari jalan keluar.
Kelompok Barat yang berangkat dari episteme kebebasan, kesamaan, dan
persaudaraan memaknakan aksi brutal dan kekerasan atas nama apapun sebagai
terorisme. Di lain pihak, kelompok teroris dan radikal justru memaknakan
gerakan dan perjuangannya sebagai sebuah perintah suci. Bagi mereka, kebebasan
individual bersifat terbatas dan dibatasi oleh apa yang disebut syariah.
Dua perspektif ini saja menimbulkan kerumitan yang
luar biasa seriusnya, terutama dalam hal bagaimana melumpuhkan gerakan politik
radikal. Dalam konteks Prancis, idealnya setiap penduduk menerima dan
menjadikan nilai-nilai sekuler seperti liberte, egalite, dan fraternite sebagai bagian dari nilainya. Dengan
begitu, slogan-sloga sepertiJe Suis Paris atau liberte, egalite, fraternite yang marak muncul sebagai tagar di
media sosial pasca tragedi 13 November dapat dilihat sebagai ekspresi
masyarakat dengan nilai-nilai semacam itu. Sebaliknya, fakta bahwa para pelaku
teroris adalah anak-anak muda yang lahir di Prancis membuktikan secara gamblang
kegagalan proses sosialisasi nilai dan norma sosial.
Persoalan ke depan yang dihadapi oleh banyak negara
di Eropa persis terletak pada bagaimana mendamaikan kedua ekstrem wacana ini.
Dalam konteks membanjirnya puluhan ribu imigran dari Timur Tengah, misalnya,
sangat sulit mentransformasi nilai dan pandangan politik mereka yang tidak
mengenal pemisahan negara dan agama melalui program apapun, entah itu proyek
multikulturalisme di Inggris atau asimilasi sosial di Prancis. Masalahnya justru
terletak pada basis nilai pembentukan kehidupan bernegara yang berbeda, yakni
negara sekuler versus negara agama.
Saya setuju dengan dua wacana yang mengemuka beberapa
hari terakhir, terutama dalam diskusi di media-media asing. Pertama, pentingnya
mendorong peran kaum Muslim moderat untuk memerangi aksi kekerasan dan
brutalisme atas nama agama. Kedua, episteme
Barat sebetulnya tidak murni sekuler, dan ini yang tampaknya tidak disadari
atau sengaja dilupakan. Prinsip liberte, egalite, dan fraternite,
misalnya, menegaskan bahwa setiap manusia adalah setara dan sederajat karena
statusnya sebagai khalifatullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.