.

Rabu, 09 Desember 2015

Teror di Paris

Aksi teror dan bom bunuh diri di Paris saat sebagian warga sedang menikmati konser musik dan sepak bola telah melahirkan reaksi dan kutukan yang keras dari pemerintah Prancis (dan sekutu-sekutunya). Aksi di Jumat kelabu, 13 November 2015 itu mengundang reaksi pengecaman terhadap kelompok radikal Islam bernama ISIS.
Beda Episteme
Orang pun bertanya, apakah tragedi semacam ini adalah sebuah tindakan teror atau sebuah tindakan terpuji atas nama agama dan/ideologi tertentu? Jawabannya tidak sekadar mengembalikannya kepada pemilik episteme masing-masing, karena itu akan menyulitkan upaya mencari jalan keluar. Kelompok Barat yang berangkat dari episteme kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan memaknakan aksi brutal dan kekerasan atas nama apapun sebagai terorisme. Di lain pihak, kelompok teroris dan radikal justru memaknakan gerakan dan perjuangannya sebagai sebuah perintah suci. Bagi mereka, kebebasan individual bersifat terbatas dan dibatasi oleh apa yang disebut syariah.
Dua perspektif ini saja menimbulkan kerumitan yang luar biasa seriusnya, terutama dalam hal bagaimana melumpuhkan gerakan politik radikal. Dalam konteks Prancis, idealnya setiap penduduk menerima dan menjadikan nilai-nilai sekuler seperti liberte, egalite, dan fraternite sebagai bagian dari nilainya. Dengan begitu, slogan-sloga sepertiJe Suis Paris atau liberte, egalite, fraternite yang marak muncul sebagai tagar di media sosial pasca tragedi 13 November dapat dilihat sebagai ekspresi masyarakat dengan nilai-nilai semacam itu. Sebaliknya, fakta bahwa para pelaku teroris adalah anak-anak muda yang lahir di Prancis membuktikan secara gamblang kegagalan proses sosialisasi nilai dan norma sosial.
Persoalan ke depan yang dihadapi oleh banyak negara di Eropa persis terletak pada bagaimana mendamaikan kedua ekstrem wacana ini. Dalam konteks membanjirnya puluhan ribu imigran dari Timur Tengah, misalnya, sangat sulit mentransformasi nilai dan pandangan politik mereka yang tidak mengenal pemisahan negara dan agama melalui program apapun, entah itu proyek multikulturalisme di Inggris atau asimilasi sosial di Prancis. Masalahnya justru terletak pada basis nilai pembentukan kehidupan bernegara yang berbeda, yakni negara sekuler versus negara agama.

Saya setuju dengan dua wacana yang mengemuka beberapa hari terakhir, terutama dalam diskusi di media-media asing. Pertama, pentingnya mendorong peran kaum Muslim moderat untuk memerangi aksi kekerasan dan brutalisme atas nama agama. Kedua, episteme Barat sebetulnya tidak murni sekuler, dan ini yang tampaknya tidak disadari atau sengaja dilupakan. Prinsip liberte, egalite, dan fraternite, misalnya, menegaskan bahwa setiap manusia adalah setara dan sederajat karena statusnya sebagai khalifatullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.