.

Kamis, 29 September 2016

Review Jurnal - Upaya Menurunkan Biaya Logistik Domestik








Oleh : Eva Febrianty Purnama

Selain memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi, logistik juga berpengaruh langsung terhadap kehidupan sehari-hari, terutama harga barang. Semakin tinggi biaya logistik, maka semakin mahal harga barang.
biaya logistik Indonesia saat ini memakan porsi sebesar 24,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, dari nilai akhir produk yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di Indonesia dalam waktu satu tahun, 24,6% darinya merupakan komponen biaya logistik. Angka tersebut sangat tinggi jika dibandingkan rata-rata negara ASEAN yang 18%.
Hal inilah yang menjadi penyebab utama harga daging sapi impor Australia tiga kali lebih murah daripada daging sapi Bima, harga jeruk lokal lebih mahal 140% dibandingkan jeruk Tiongkok, atau harga gula lokal yang lebih tinggi hingga 95% dari gula impor.
Perbedaan harga juga terjadi antar wilayah di Indonesia. Harga tepung di Surabaya, yang memiliki 10 dari 29 pabrik di Indonesia, adalah Rp 7.500 perkilogram. Sedangkan harga tepung di Kalimantan Selatan, yang sumber tepungnya berasal dari Surabaya, harganya mencapai Rp 9.200 per kilogram. Secara rata-rata perbedaan mencapai 23%. Perbedaan tersebut semakin tinggi pada kota-kota yang lebih jauh ke timur, seperti di Ambon, Maluku, satu kilogram tepung yang dikirim dari Surabaya harganya dapat mencapai Rp 10.000 per kilogram.
Contoh lain adalah perbedaan harga makanan olahan di daerah terpencil seperti Papua bisa mencapai 228% dibandingkan dengan Jakarta. Harga mie instan (cup) di Papua sekitar Rp8.000 rupiah per satuan dibandingkan dengan di Jakarta Rp3.500 yang jauh lebih dekat dengan sentra produksi.
Maka tidak heran di daerah-daerah perbatasan, seperti di Pulau Sebatik kabupaten Nunukan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, perekonomiannya lebih bergantung pada negeri Jiran tersebut. Uang yang beredar di sana pun lebih banyak mata uang Malaysia (Ringgit) ketimbang Rupiah.
Biaya Tinggi logistik
Kondisi geografis Indonesia sebagai negara Kepulauan secara alamiah menempatkan pelayaran memegang posisi kunci dalam perdagangan domestik. Memiliki pelayaran domestik yang efisien sangat penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang sehat, adil dan seimbang antar wilayah. Ironisnya, justru pelayaran domestik memberikan kontribusi yang tinggi atas perbedaan harga tersebut dan menyebabkan perpindahan barang antar pulau di dalam negeri sering kali lebih mahal daripada perpindahan barang dari dan ke luar negeri.
Biaya tinggi pelayaran domestik disebabkan beberapa faktor: Pertama, kapal menghabiskan terlalu banyak waktu di pelabuhan, dari berlabuh hingga operasi bongkar muat. Hal ini membuat perjalanan kembali memakan waktu dua sampai tiga kali lebih lama dari waktu normal. Selain itu, ukuran kapal di Indonesia relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia. Hal ini menciptakan inefisiensi, karena skala ekonomis akan tercapai bila pengangkutan kargo dilakukan sekaligus dalam jumlah yang besar. Dan terakhir , harga bahan bakar dan biaya bunker kapal Indonesia 20% lebih tinggi daripada di negara-negara tetangga.
Ketidakpastian waktu juga menjadi masalah tersendiri dalam sistem transportasi laut di Indonesia. Memindahkan barang dari Sumatera ke Jawa bisa berlangsung antara 9 sampai 25 hari di laut. Ketidakpastian ini sangat rawan bagi jenis barang yang mudah membusuk (perishable goods). Pelabuhan tanpa fasilitas pendingan juga menyebabkan berbagai masalah pada rantai pasokan buah-buahan dan perikanan. Kurangnya fasilitas pendingin (reefer) pada pelabuhan dapat menyebabkan pengiriman tertunda hingga dua minggu. Pengadaan fasilitas pendingin kerap tersandung rendahnya pasokan listrik. Demikian juga di darat. Transportasi dari pusat produksi menuju pabrik pengolahan dengan menggunakan truk yang tidak dilengkapi fasilitas pendingin, hanya menggunakan batu es, dapat menimbulkan kerugian hingga 20% dari nilai barang.

Membangun Logistik Maritim Domestik yang Efisien
Program Tol Laut andalan Jokowi-JK bermaksud memperbaiki permasalahan logistik Indonesia, dengan transportasi laut sebagai tulang punggung (logistik maritim). Revitalisasi 24 pelabuhan merupakan langkah awal proram Tol Laut, yang digadang-gadang dapat mengurangi disparitas harga antara kawasan Barat dan Timur Indonesia.
Pada pemerintahan sebelumnya, sudah ada upaya untuk memperbaiki sistem logistik melalui cetak biru Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS) dan Masterplan Percepatan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang didalamnya terdapat program Pendulum Nusantara, Short Sea Shipping, dan Indonesia Conectivity.
Tidak Bisa Sendiri
Inefisiensi logistik juga terjadi di sisi darat (pelabuhan dan hinterland). Data yang dikeluarkan oleh Indonesian National Shipowners Association (INSA) melalui ketua umumnya, Carmelita Hartoto, memerinci bahwa dari total biaya logisitk, hampir 70% biaya berada di darat, yang terdiri dari biaya inventori dan biaya pelabuhan.

Infrastruktur jalan dari dan menuju pelabuhan juga menjadi faktor pengerek tingginya biaya logistik. Gemilan Tarigan sebagai ketua DPU ANGSUSPEL ORGANDA provinsi DKI Jakarta, mengungkapkan bahwa lima tahun yang lalu, waktu tempuh yang diperlukan dari pabrik ke pelabuhan hanya sekitar 8 jam. Kini dapat memakan waktu tempuh hingga 20 jam. Waktu tempuh tersebut berpengaruh langsung terhadap banyaknya trip dalam satu hari sehingga secara total menyebabkan biaya angkut meningkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.