.

Jumat, 06 Oktober 2017

Rekayasa Produktifitas



Rekayasa Produktifitas Industri Kecil

dibuat oleh muhammad zainudin


     Dikutip dari jurnal Makhmudun Ainuri UGM 2009 Salah satu sektor strategis untuk mendorong percepatan agenda pemulihan ekonomi Nasional adalah sinergitas pengembangan sektor pertanian, industri, perdagangan dan investasi yang didukung oleh pengembangan prasarana ekonomi dan kualitas sumberdaya manusia yang tercakup dalam konsep agroindustri. Keunggulan sektor agroindustri, antara lain (Sumodiningrat, 2001); disektor tenaga kerja, sektor pangan, sektor ekonomi makro, sektor perdagangan, sektor industri manufaktur pertanian, sektor pembangunan daerah, penanggulangan kemiskinan, dan investasi.sektor agroindustri skala kecil dan industri masih menghadapi kendala pada perkembangannya, meskipun secara makro memiliki sumbangan cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama dalam aspek penyediaan tenaga kerja karena sifatnya padat karya. Hal ini nampak pada pertumbuhan secara kuantitatif jumlah pelaku usaha kecil di Indonesia tahun 2001 yang mencapai Rp 40.137.773 juta (99,86 %) dari total pelaku usaha 40.197.61 juta, sementara pelaku usaha mikro mencapai 97,6 % dari jumlah pelaku usaha kecil (BPS2001). Pada tahun 2005 nilai tambah subsektor pertanian (juta rupiah) mencapai 214.778 (54.18 %), dengan jumlah perusahaan mencapai 15.006 unit (72,39 %), walaupun ditinjau dari produktivitas tenaga kerja (juta rupiah) relative rendah 1.976,25 (24.89 %) (BPS, 2009d).

     Puskon ITB dalam Syarief (2004) mengemukakan bah­wa terdapat berbagai masalah yang dihadapi oleh pelaku usaha di sektor agroindustri skala kecil dapat dilihat dari 4 (empat) sisi, yaitu: (1) pelaku usaha, memiliki kecenderungan individualistik dan menciptakan iklim usaha yang tidak kondusif bagi pengembangan usaha; monopoli dalam penguasaan akses material, informasi, teknologi, dan pangsa pasar, serta lambatnya transformasi budaya dari agraris ke industri; (2) pekerja, tidak memiliki semangat mengembangkan diri, kurang inovatif dan problem internal terkait dengan personal performance; (3) kebijakan pemerintah, belum mampu memfungsikan dirinya sebagai fasilitator maupun katalisator dari berbagai aspek baik teknis, organisasi, informasi, keuangan, kelembagaan dan regulasi yang memperkuat kinerja industri skala kecil; dan (4)konsumen, ditandai lemahnya kesadaran untuk melakukan kontrol terhadap kualitas produk.

      Syarief (2004) menegaskan juga bahwa kelemahan umum industri skala kecil, diantaranya: (1) usaha keluarga dengan modal terbatas; (2) tidak memiliki manajemen dan perencanaan usaha yang jelas; (3) menggunakan teknologi dan peralatan sederhana; (4) tidak memiliki akses langsung ke konsumen; (5) egois dan kurang memiliki rasa kebersa
maan; (6) kurang memiliki komitmen dan etika bisnis; (7) tidak memiliki kemandirian berusaha (tingkat ketergantun gannya tinggi); (8) umumnya tidak memiliki budaya bisnis; dan (9) minim atau kesulitan akses informasi. Dampaknya, pelaku usaha kecil kurang memiliki kemampuan adaptasi dan difusi teknologi yang pada hakekatnya dapat meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kapasitas industri atau menciptakan ketahanan ekonomi industri skala kecil.
Teknologi agroindustri adalah sejumlah perangkat yang dapat meningkatkan kinerja pelaku agroindustri, yaitu teknoware,infoware, humanware, danorganoware (Gumbira Sa’id, dkk., 2001).Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk melihat secara mendalam potensi yang dapat mempercepat terjadinya proses adaptasi dan difusi dengan tujuan utama meningkatkan ketahanan dan daya saing ekonomi yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan para pelaku. Adapun potensi yang dapat mempercepat proses adaptasi dan difusi teknologi adalah modal sosial para pelaku, namun tidak dilihat dan disadari bahwa modal sosial tersebut memiliki nilai ekonomi yang menguntungkan bagi perkembangan usaha (Tonkiss, 2000). Hal yang terjadi justru sebaliknya, modal sosial lebih dipersepsikan secara negatif seiring dengan meningkatnya persaingan usaha dan kerterbatasan sumber daya. Modal sosial dimaksud adalah kemampuan untuk membangun komunikasi, interaksi, koordinasi, dan relasi diantara sesama pelaku usaha dan atau dengan pihak eksternal (Van Bastelaer, 2000). Dengan demikian sangat penting dilakukan kajian dan upaya transformatif untuk tindak lanjut hasil penguatan modal sosial sebagai media yang menguntungkan atau memiliki nilai ekonomi karena dapat mempercepat kemungkinan terjadinya difusi teknologi agroindustri dan penciptaan iklim usaha dan berusaha yang kondusif.Masih sangat jarang upaya pengembangan usaha kecil yang melihat masalah dari sisi sejauh mana proses terjadinya difusi teknologi pada industri skala kecil sekaligus mengeksplorasi modal sosial sebagai kemungkinan sarana untuk rekayasa sosial proses terjadinya difusi teknologi agroindustri. Modal sosial adalah sarana yang sangat strategis sekaligus ”murah” yang memungkinkan terjadinya percepatan difusi teknologi agroindustri dan membangun usaha yang memiliki daya tahan terhadap segala kemungkinan yang mengancam kelangsungan usaha. Penelitian ini berpijak pada konsep modal sosial, difusi teknologi dan ketahanan agroindustri serta memiliki hipotesis bahwa modal sosial memiliki nilai ekonomi yang dapat dijadikan sebagai media rekayasa difusi teknologi agroindustri dan memperkuat ketahanan agroindustri pangan skala kecil.





Daftar Pustaka :

Ainuri, Makhmudun. 2009.” NILAI EKONOMI MODAL SOSIAL SEBAGAI MEDIA REKAYASA DIFUSI TEKNOLOGI PADA SENTRA INDUSTRI PANGAN SKALA KECIL”.dalam sirok bastra: AGRITECH, Vol. 29, No. 4 November 2009(hlm. 1-3). Yogyakarta .Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, https://journal.ugm.ac.id/agritech/article/view/9698/7273

Syarief, A. (2004). Pembinaan Usaha Kecil Semrawut. Artikel dalam rangka HUT Pikiran Rakyat, edisi 12 Juli, Jakarta. Republished At http://www.forumukm.com/a3.htm#. [11 Agustus 2009]

Van Bastelaer, T. (2000). Does Social Capital Facility the Poor’s Accessto Credit? A Review on the Microeconomic Literature. Social Capital Initiative Working Paper No. 8. Washington, D.C: The World Bank.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.