.

Rabu, 06 Mei 2020

REORIENTASI PENDIDIKAN NASIONAL DALAM MENYIAPKAN DAYA SAING BANGSA


Abstrak

Artikel ini mencoba menjelaskan strategi pendidikan nasional dalam menghadapi tantangan-tantangan globalisasi. Globalisasi telah mengubah mindset para pengambil kebijakan di negara-negara maju di kawasan Asia Timur untuk merubah sistem and tata kelola pendidikan mereka melalui desentralisasi, marketisasi dan internasionalisasi untuk meningkatkan daya saing pendidikan mereka. Para pembuat kebijakan di Indonesia harus mereformasi sistem dan tata kelola pendidikan dalam hal regulasi, aturan dan pembiayaan. Ada tiga langkah yang harus diambil untuk mengatasi problem pendidikan nasional: (1) meninjau kembali dan memperbaharui kerangka legal pendidikan nasional yang lama; (2) meningkatkan proses pendidikan yang mampu memperkuat keterampilan mengajar dan pembelajaran para pendidik, dan (3) membangun budaya kewargaan dan mengembangkan kesadaran belajar masyarakat.
Kata Kunci: pendidikan nasional, daya saing negara, sistem dan tata kelola pendidikan


PENDAHULUAN
Salah satu topik yang menarik dan tidak pernah usang adalah pembicaraan mengenai pendidikan. Pendidikan ada seiring dengan adanya penciptaan manusia. Pendidikan bukan hanya memiliki dasar filosofis dan menjadi obyek kajian ilmu tetapi juga memiliki nilai praksis yang sangat penting bagi upaya regenerasi umat manusia. Pendidikan merupakan wahana untuk melahirkan generasi penerus dan menjadi kunci bagi kelangsungan suatu bangsa. Pendidikan telah diakui sebagai medium penting bagi suatu negara dalam membentuk karakter bangsa sekaligus mencirikan kualitas bangsa tersebut.
Berdasarkan pengalaman negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Belgia, Jerman dan Finlandia, untuk memajukan negara, diperlukan reformasi melalui bidang pendidikan. Demikian halnya yang dilakukan oleh negara-negara Asia Timur, seperti Hong Kong, China, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Negara-negara tersebut melakukan kebijakan penting dalam rangka menghadapi tantangan sekaligus peluang yang dihadirkan oleh globalisasi dengan memperkuat daya saingnya secara internal dan eksternal, yaitu mereformasi sistem pendidikan dan mengubah pengelolaan pendidikan (Mok, dkk., 2005).
Sementara itu dalam konteks keindonesiaan, dapat dikatakan bahwa sejak krisis keuangan yang menimpa Indonesia sampai sekarang, bangsa Indonesia masih berjuang untuk membangun sikap dan mental budaya masyarakat untuk memiliki daya saing. Menurut Ali (2014:1), lahirnya reformasi di Indonesia sejak tahun 1998 telah membangkitkan kembali harapan masyarakat tentang pembangunan nasional untuk menuju bangsa Indonesia yang mandiri, maju, makmur dan berdaya saing tinggi. Mandiri berarti mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Maju bermakna tingkat kemakmuran yang juga tinggi disertai dengan sistem dan kelembagaan politik dan hukum yang mantap. Adil berarti tidak ada pembatasan/diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender, maupun wilayah. Makmur berarti seluruh kebutuhan hidup masyarakat Indonesia telah terpenuhi sehingga dapat memberikan makna dan arti penting bagi bangsa-bangsa lain (Kementrian PPN/Bappenas, 2014:1)


PEMBAHASAN
Setelah   mencermati   beberapa   pengalaman   negara-negara maju dalam melakukan upaya melakukan reformasi pendidikan dan pengelolaan sistem pendidikan maka menurut penulis sudah selayaknya apabila bangsa Indonesia melalui pemerintah meninjau kembali sistem pendidikan nasional. Peninjauan ini  bukan  berarti  harus  merubah  total sistem pendidikan nasional, tetapi meninjau kembali beberapa konsep yang kurang relevan dengan tuntutan perubahan global, khususnya yang terkait substansi pendidikan dan model pengelolaannya. Penguatan kembali “core pendidikan” sesuai kultur bangsa Indonesia nampaknya perlu mendapatkan prioritas. Menurut Nuryanta (2014), beberapa nilai inti (core values) pendidikan nasional adalah nilai keagamaan, keadilan, kebebasan, persamaan, cinta tanah air, kesesuaian, kemerdekaan, kebudayaan, kemanusiaan, kekeluargaan, gotong royong, keramah tamahan, kedisiplinan, menghargai perbedaan, negara maritim dan kewarganegaraan yang harus ditumbuhkan sejak awal pendidikan, khususnya mulai dari pendidikan pra-sekolah.
Konsep Negara Maritim yang diprioritaskan oleh Presiden Joko Widodo perlu mendapat perhatian serius. Kalau pada konsep sebelumnya “laut” adalah “pemisah” antar pulau, maka sekarang konsep tersebut telah berubah menjadi “pemersatu” antar pulau. Konsep ini memerlukan perubahan mindset seluruh warga negara. Masyarakat harus dipahamkan bahwa laut bukanlah halangan akan tetapi menjadi wahana transportasi untuk negara maritim, terutama beberapa tahun ke depan yang sangat mungkin menggantikan transportasi darat. Perubahan mindset ini harus mulai disebarluaskan kepada masyarakat melalui pendidikan. Konsekuensi logisnya adalah masyarakat Indonesia tidak boleh lagi takut “laut”. Maka pembelajaran renang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum, bahkan perlu diwajibkan. Hal ini sejalan dengan ajaran Rasulullah SAW, bahwa renang adalah salah satu materi pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik, sebagaimana sabda Beliau: ajarilah anak-anakmu memanah, berkuda dan berenang (HR. Ath-Thawawi).
Sementara itu, konsep sekolah pemikiran (thinking school) yang dikembangkan oleh pemerintah Singapura dalam menghasilkan peserta didik yang kritis, kreatif dan inovatif perlu digalakkan dalam pendidikan di Indonesia. Kalau di Indonesia ada LEMHANAS yang dijadikan sebagai pendidikan yang strategis dan mendidik kalangan elit politik minoritas (legislatif, eksekutif, pimpinan perguruan tinggi,  militer) maka model ini dapat diadopsi tetapi pesertanya harus diperluas. Pola pendidikan di LEMHANAS harus dibangun  untuk  generasi  muda  yang potensial sehingga menjaring banyak peserta didik potensial yang diperlukan dalam mendukung proses pembangunan bangsa. Alasan ini untuk mengatasi kenyataan bahwa berdasarkan laporan Kementrian Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2014, masih terdapat 2,1% anak usia 7-12 tahun dan 10,5% anak usia 13-15 tahun yang tidak sekolah pada tahun 2012. Sebagian besar anak usia 13-15 tahun yang tidak sekolah adalah lulusan SD/MI yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs (Kementrian PPN/Bappenas, 2014: 6).
KESIMPULAN
Setelah mencermati, membahas dan menganalisis pendidikan nasional maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:
a.     Sistem pendidikan nasional yang bersumber pada UU No Tahun 2003 belum mampu menghasilkan sumber daya manusia sesuai dengan tujuannya. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali dan bahkan direformasi untuk memperkuat daya saing manusia Indonesia.
b.     Proses pendidikan diperbaiki  dengan  perbaikan  pendidikan  guru atau pendidik yang mampu memahami proses pendidikan dari sisi folosofis, epistimologis maupun praksis. Pengajaran dan pembelajaran ditempuh dengan metode yang dialogis, interaktif dan komunikatif.
c.     Reformasi budaya dan menumbuh kembangkan kesadaran belajar warga negara Indonesia adalah solusi terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi pendidikan nasional.


DAFTAR PUSTAKA

Mok, Ka Ho. 2006. Education Reform and Education Policy in East Asia. New York: Routledge: Taylor & Francis Group
Kementrian PPN/Bappenas.2014.Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019: Buku I Agenda Pembangunan Nasional. Jakarta: Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bapan Perencanan Pembangunan Nasional.
Kementrian PPN/Bappenas. 2014. Rencana Teknokratik RPJM 2015- 2019 Sub Bidang Pendidikan. Jakarta: Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bapan Perencanan Pembangunan Nasional.
Ali, Muhammad. 2014. Pendidikan Untuk Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi. Edisi Kedua. Bandung: PT. Imperial Bhakti Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.