.

Sabtu, 12 Maret 2016

Budaya Korupsi dan Revolusi Mental Kekinian


Korupsi merupakan “penyakit” sosial yang sudah dan kian merebak di semua bidang kehidupan sosial. Persoalan ini seolah-olah membudaya karena telah menjadi suatu kebiasaan dan bahkan secara sosial hal ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam konsep yang lebih ekstrem dapat dikatakan bahwa generasi sekarang selain mendapat ilmu pengetahuan dan pengembangan lainnya tetapi juga mendapat suatu kebiasaan untuk menjadi koruptor. Studi dan kenyataan telah membuktikan bahwa persoalan korupsi telah menjadi penyakit bangsa. Bahkan lembaga yang dibentuk untuk memberantasi korupsi juga menjadi wadah atau peluang untuk korupsi. Jika kenyataanya memang demikian, maka persoalan korupsi ini sulit untuk diatasi. Untuk konteks Indonesia, masalah korupsi merupakan suatu masalah yang tidak lagi dilihat sebagai masalah yang baru karena memang telah menjadi budaya atau kebiasaan. Indonesia dan korupsi merupakan dua variable yang saling bertautan. Artinya, ketika orang berbicara tentang Indonesia, maka salah satu persoalan utama yang dibicarakan adalah persoalan korupsi. Atau sebaliknya, ketika orang berbicara tentang korupsi, maka orang berbicara juga tentang Indonesia.
Korupsi di Indonesia hampir terjadi pada seluruh lapisan masyarakat. Artinya, korupsi tidak hanya “digemari” oleh kaum elite (kaum politisi dan para penguasa), tetapi ia sudah menjalar hingga ke seluruh lapisan masyarakat, bahkan masrakat kelas bawah sekalipun. Dan persoalan ini bukan hanya persoalan yang hanya terjadi pada era tertentu seperti era Orde Baru (masa kepemimpinan Soeharto), tetapi juga pada generasi sekarang. Lebih lanjut korupsi bukan lagi hanya sebatas pencurian uang untuk memperkaya diri sebagai akibat dari system politik yang sangat koruptif tetapi suatu pola yang telah merasuki mentalitas masyarakat yang sekaligus mengarahkanya pada pengkultusan korupsi. Berhadapan dengan realitas yang ada, maka hal ini sangat sulit untuk diatasi. Namun hal itu tidak berarti tidak ada kemungkinan-kemungkinan lain untuk mengatasinya. Untuk konteks sekarang, salah satu kemungkinan yang dapat mengatasi persoalan ini adalah revolusi mental yang mesti terjadi saat ini dan mengaktualisasikan peran masyarakat. Masyarakat perlu diberdayakan secara efektif untuk melawan korupsi dengan menciptakan suatu gerakan sosial dan lebih dari pada itu menciptakan suasana masyarakat yang bebas korupsi mulai dari diri sendiri dan masyarakat itu sendiri. Inilah yang oleh penulis disebut sebagai proses revolusi mental kekinian. Artinya, revolusi mental yang selalu aktual dilakukan.Proses ini dapat memberi peluang kepada masyarakat untuk memberikan penilaian-penilaian kritis dan juga bertindak sesuai dengan penilaian-penilaian tersebut.

Apa itu Korupsi?
Korupsi sudah terlampau tenar untuk konteks Indonesia. Kerena itu hampir pasti semua lapisan masyarakat mengetahui apa itu korupsi. Namun tanpa mengurangi apa yang sudah diketahui oleh masyarakat umum, penulis juga akan menguraikan beberapa definisi teoretis tentang terminologi korupsi. Memang dari beberapa konsep tersebut tidak ada satu formulasi yang baku untuk menjelaskan term korupsi. Berikut beberapa penjelasan teretis tentang korupsi.
J. S. Badudu, dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan lain sebagainya. Dalam penjelasannya, Badudu menegaskan bahwa korupsi sebagai tindakan penggelapan uang dan tindakkan tersebut sebagai perbuatan yang buruk. Hal ini berhubungan dengan tingkah laku individu yang menggunakan wewenang atau jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi dan merugikan kepentingan umum dan Negara. Disini tampak dengan jelas bahwa korupsi merupakan penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain. Sementara As Hornby E. V. Getenby dan H. Wakefiel mendefinisikan korupsi sebagai penawaran atau pemberian dan penerimaan suap. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa tindakan untuk  korupsi sebagai suatu kebusukan. Kebusukan berhubungan dengan akhlak atau moral dari orang yang melakukan tindakkan korupsi. Sementara penyuapan didefiniskan sebagai hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang diberikan dengan tujuan untuk merusak pertimbangan atau tingkah laku dari seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai kedudukan terpercaya, misalnya sebagai pejabat pemerintah.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan tindakan penggelapan dan penyuapan serta penyogokan dan penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi dan merugikan kepentingan umum dan Negara. Namun lebih dari itu korupsi mesti dipahami secara luas yang mencakupi penyalahgunaan waktu, jabatan dan kedudukan istimewa dan hal lain dalam masyarakat demi kepentingan pribadi.

Potret Korupsi di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai catatan buruk dengan persoalan korupsi. Korupsi telah merasuki seluruh dimensi kehidupan. Korupsi di Indonesia kebanyakan dilakukan oleh para birokrat atau oleh kelompok yang hidup dalam satu system strukrural yang memungkinkan praktek korupsi. Segala bentuk korupsi yang terjadi di bangsa ini diakibatkan oleh hilangnya kesadaran moral dan etika, system pendidikan yang timpang, ketidakpastian hukum dan lain sebagainya. Sesungguhnya kesadaran moral dan etika hidup seseorang dapat memberi andil yang signifikan dalam mengawal tindakan seseorang. Namun dalam kenyataannya, keutamaan tersebut mengalami erosi bahkan hilang sama sekali. Kehilangan kesadaran moral dan etika tersebut memungkinkan orang untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif, misalnya korupsi. Sebab kepekaan indra batin dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan kritis terhadap suatu tindakan yang dilakukan agar sesuai dengan fungsinya. Bertolak dari pendasaran ini, maka bisa dibayangkan bahwa sesungguhnya korupsi yang terjadi di kalangan birokrat bukan karena rendah atau kurang memadainya gaji tetapi karena lemahnya kesadaran moral dan etika.
Kemerosotan moral dan etika di atas sesungguhnya dipengaruhi oleh system pendidikan yang timpang. Di mana sistem pendidikan lebih menekankan aspek akademik sehingga mengabaikan aspek moral yang berkibat lebih lanjut pada perkembangan mental dan kepribadian seseorang. Dalam hubungannya dengan korupsi, orang-orang yang sebelumnya hanya ditempa dan dipersiapkan secara akademik tanpa memperhatikan aspek moral menjadi pribadi yang dengan kesadaran moral yang lemah. Orang dengan kepribadian moral yang lemah akan sangat mudah untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif, misalnya korupsi. Sebab lain adalah ketidakpastian hukum. Di Indonesia lembaga hukum selain menjadi lembaga penegakan hukum, ia juga menjadi tempat yang menciptakan peluang terjadinya korupsi. Di sana kadang terjadi mafia yang sarat korupsi. Karena itu, banyak koruptor yang dinyatakan tidak bersalah sekalipun ia bersalah. Hal ini memberi peluang terjadinya korupsi. Singkatnya, ada suatu lingkaran setan antara masalah korupsi dan lembaga penegakan hukum. Bertolak dari beberapa sebab di atas, penulis menyimpulkan bahwa selain pembentukan lembaga pemberantasan korupsi sebagai upaya mengatasi korupsi, revolusi mental kekinian (saat ini dan selalu) menjadi hal yang sangat penting.
.
Revolusi Mental Kekinian
            Korupsi merupakan suatu penyakit sosial dan politik yang terjadi masa kini. Korupsi telah menyebabkan kemiskinan yang structural, penindasan, disintegrasi bangsa, ketidakadilan dan pelbagai akibat lainnya. Ia semacam benalu sosial yang merusak seluruh struktur pemerintahan dan menghancurkan tatanan hidup bersama. Karena itu, persoalan ini mesti diatasi. Salah satu hal yang mendesak untuk diupayakan saat ini adalah revolusi mental. Tentang revolusi mental ini sesungguhnya telah digaungkan oleh Presiden Jokowi, walaupun hal itu sesungguhnya sudah diserukan dalam formulasi yang berbeda. Upaya pemberantas korupsi tidak cukup hanya menunggu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Revolusi mental di sini, diartikan pada pembenahan mentalitas seseorang dan masyarakat umumnya dengan menghidupkan kembali kesadaran moral dan etika. Hal ini sangat membutuhkan peran keluarga, institusi agama, pendidikan dan masyarakat umumnya. Jika hal ini dilakukan, maka akan menghasilkan generasi yang paling kurang mempunyai daya kritis terhadap mentalitas koruptif. Lebih lanjut kesadaran seperti itu membangkitkan peran serta atau partisipasi masyarakat dalam mengkawal sistem politik dan pemerintahan di negeri ini untuk menekan budaya korupsi.
            Masyarakat memainkan peran yang amat penting dalam mengatasi budaya korupsi. Karena itu, kehadiran masyarakat yang sudah mengalami revolusi mentalnya dapat menjadi membuka jalan revolusi sosial. Revolusi sosial adalah suatu perubahan radikal yang digerakkan oleh masyarakat untuk keluar dari cengkraman kekuatan-kekuatan yang menindas. Sebab perubahan itu sesungguhnya mesti digerakkan dari masyarakat bawah. Karena itu, dalam hal ini masyarakat merupakan agen perubahan. Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan sistem pemerintahan yang selama ini sarat dengan korupsi. Jadi, perubahan dapat terjadi bila masyarakat terlibat aktif dengan mengetahui segala persoalan yang ada sebagai pengetahuan dasar untuk bersikap kritis. Sikap kritis tersebut memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi sekaligus mengontrol kinerja pemerintah dengan penuh tanggung jawab. Karena itu, masyarakat mempunyai peran penting yang hadir dengan mentalitas yang baru untuk mengatasi korupsi di negara ini. Jika masyarakat baru hadir dengan revolusi mental dan menjadi agen revolusi sosial, maka budaya korupsi sekurang-kurangnya dapat diatasi dan terwujud.




Daftar Pustaka

  Perbandingan ini mesti dipahami dalam konteks pembicaraan masyarakat Indonesia.
 J. S. Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 270.
 Baharudin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 67
    Bdk. Mudji Sutrisno, Ide-Ide Pencerahan (Jakarta: Obor, 2004), hlm. 70.
 Bdk. Paulo Freire, Alois A. Nugroho (penterj.) Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 120
  Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi (Jakarta: Obor, 1998), hlm. 28.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.