Setiap
perusahaan baik perusahaan manufaktur maupun jasa akan terus meningkatkan
produktivitas perusahaannya dalam segala aspek. Dalam industri manufaktur,
produktivitas suatu perusahaan dapat di lihat dari kemampuan perusahaan dalam
menjalankan proses produksi secara efektif dan efisien. Semakin efisien sistem
produksi perusahaan tersebut, maka semakin sedikit timbulnya kerugian akibat
tidak tercapainya target produksi dalam aktivitas produksinya.
Usaha
perbaikan pada industri manufaktur, dilihat dari segi peralatan, adalah dengan
meningkatkan utilitas peralatan yang ada seoptimal mungkin dan memperpanjang
umur ekonomisnya. Utilisasi dari peralatan pada rataan industri manufaktur
adalah sekitar setengah dari kemampuan mesin yang sesungguhnya (Nakajima, 1988)
PT.
Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dalam melakukan proses produksinya pada
lini produksi mesin Stamping terjadi ketidaksesuaian hasil output produksi
dengan target produksi yang ditentukan. Hal tersebut terjadi karena beberapa
faktor penyebab yang menyebabkan mesin dan peralatan tidak dapat bekerja secara
maksimal sehingga mesin tidak mencapai nilai effisiensi seperti yang telah
ditetapkan oleh manajemen perusahaan.
Untuk
itu pemeliharaan diterapkan pada peralatan yang bermasalah. Bermasalah disini
berarti, terjadi kemerosotan dalam hal kualitas maupun kuantitas dari produk.
Beberapa aspek dari pemeliharaan pencegahan biasanya merujuk pada kegiatan
perbaikan (repair), perkiraan (predictive), dan pemeriksaan menyeluruh
(overhaul). Hal ini juga disebabkan karena tidak adanya atau kurang efektifnya
sistem atau metode yang mampu mengukur kinerja sesungguhnya dari peralatan dan
memberikan solusi terhadap permasalahan yang ditemui. Salah satu metode
pengukuran kinerja yang banyak digunakan oleh perusahaanperusahaan yang mampu
mengatasi permasalahan-permasalahan machine/equipment adalah Overall Equipment
Effectiveness (OEE). Metode ini merupakan bagian utama dari sistem pemeliharaan
yang banyak diterapkan oleh perusahaaan Jepang, yaitu Total Productive Maintenance
(TPM). (Rahmad et al, 2012)
TPM
(Total Produktion Maintenance) dengan menggunakan metode pengukuran OEE
(Overall Equipment Efectivness) berguna sebagai metode pengukuran performasi
mesin untuk melihat secara keseluruhan effektifitas mesin yang mencakup
avaibility rate, performance rate, quality of rate.
Tujuan
dari setiap TPM (Total Production Maintenance) adalah untuk menghilangkan
kerugian yang terkait dengan perawatan peralatan atau, dengan kata lain menjaga
agar peralatan hanya memproduksi produk yang baik secepat mungkin tanpa
downtime yang tidak direncanakan. Produk untuk konsumen akhir dengan
meminimalkan pengerjaan ulang, peralatan slow run dan down time, serta
mengurangi limbah dari proses pembuatannya dengan cara mengurangi atau menghilangkan
waktu produksi yang hilang akibat dari kegagalan mesin, dan memastikan bahwa
mesin dan peralatan selalu tersedia untuk membuat produk (Nayak et al, 2013).
Menurut
Heizer & Render (2010) pemeliharaan adalah semua aktivitas yang terlibat
dalam menjaga peralatan suatu sistem agar tetap bekerja. Sedangkan menurut
Assauri (2008) maintenance dapat diartikan sebagai kegiatan untuk memelihara
atau menjaga fasilitas atau peralatan pabrik dan mengadakan perbaikan atau
penyesuaian ataupun penggantian yang diperlukan supaya terdapat suatu keadaan
operasi produksi yang memuaskan sesuai dengan apa yang direncanakan.
Nilai
maksimalnya OEE (Overall Equipment
Efectivness) adalah metrik yang awalnya dikembangkan untuk mengukur
keberhasilan TPM (Total Production Maintenance)
dengan mengaitkan enam kerugian besar dengan tiga terukur: ketersediaan,
kinerja, dan mutu. OEE (Overall Equipment Efectivness) memungkinkan organisasi
untuk mengukur dan memantau kemajuan mereka dengan metrik yang sederhana dan
mudah dipahami. OEE (Overall Equipment
Efectivness) menyediakan baik ukuran untuk keberhasilan TPM (Total Production Maintenance) dan
kerangka kerja untuk mengidentifikasi area yang bisa diperbaiki (Nayak et al,
2013).
1.1.
Overall Equipment
Efectiness (OEE)
Manajemen
perbaikan modern tidak hanya untuk memperbaiki peralatan yang rusak secara
cepat. Manajemen perbaikan yang modern adalah untuk menjaga suatu barang atau
peralatan dapat bekerja dan berjalan dengan fungsi yang maksimal dan
menghasilkan produk yang berkualitas dengan menekan biaya serendah mungkin
(Muhtady, 2009),
Dalam
suatu kegiatan proses produksi terdapat beberapa ukuran untuk mengetahui
tingkat keberhasilan dan performa dari suatu mesin. Terdapat banyak
faktor-faktor yang mendukung effektifitas suatu mesin. Faktor-faktor tersebut
diantaranya adalah kegagalan mesin, kapasitas produksi, effissiensi waktu untuk
menghasilkan produk, waktu siklus ideal, kinerja operator, penanganan kerusakan
mesin, dan kegagalan proses.
Dalam
mendukung efektifitas suatu mesin untuk menghindari faktor-faktor yang
mengurangi efektifitas mesin, salah satunya dengan pemeliharaan. Jenis
pemeliharaan sampai saat ini terbagi menjadi tiga cara yaitu pemeliharaan
terencana (planned maintenance), pemeliharaan tak terencana (unplanned maintenance)
dan pemeliharaan mandiri (Autonomous maintenance) berdasarkan Leong (2012) yang
dikutip oleh Rimawan dan Raif (2016).
Nursanti
dan Susanto (2014) menyebutkan bahwa pada praktiknya, seringkali usaha
perbaikan yang dilakukan tersebut hanya pemborosan, karena tidak menyentuh akar
permasalahan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan tim tidak mendapatkan dengan
jelas akar permasalahan yang terjadi dan faktor-faktor penyebabnya, sehingga
dalam upaya mengatasi masalah ini tim tidak efektif dalam mengatasinya.
Menurut
Nakajima (Nakajima, 1988), terdapat enam kerugian peralatan yang menyebabkan
rendahnya kinerja dari mesin dan peralatan, keenam kerugian tersebut di kenal
dengan istilah Six Big Losses. Diperlukan suatu pengukuran untuk mengetahui
kinerja perawatan mesin dan sebagai evaluasi untuk melakukan perbaikan yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan effektifitas mesin maupun perawatan yang
sudah dilakukan. Dalam hal ini pengukuran yang dilakukan sesuai dengan kondisi
dan factor komplek seperti tersebut di atas. Salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan adalah dengan menggunakan metode OEE (Overall Equipment
Effectiveness) sebagai produk dari TPM (Total Production Maintenance yang
konsepnya diperkenalkan oleh Seiichi Nakajima pada tahun 1971.
Dalam
melakukan perencanaan kegiatan proses produksinya, PT.Toyota Motor
Manufacturing Indonesia. khususnya pada lini produksi Mesin Press Line H
mengalami ketidaksesuaian hasil output produksi dengan target produksi yang
ditentukan.
Hal
ini mengindentifikasikan bahwa belum tercapai salah satunya parameter
produktivitas perusahaan untuk menghasilkan produk sesuai target yang telah
ditetapkan oleh perusahaan. Indikasi tersebut dapat di lihat dari output
produksi per bulan yang dihasilkan oleh PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia
pada bulan September 2019, di mana terlihat output yang dihasilkan per bulannya
masih di bawah rencana atau target produksi yang diinginkan.
OEE
(Overall Equipment Efectivness) adalah ukuran kinerja yang penting untuk
efektivitas peralatan apapun, analisis yang cermat diperlukan untuk mengetahui
efek berbagai komponen. Dari analisis efektivitas peralatan secara keseluruhan
dan implementasi yang tepat dari TPM (Total Production Maintenance). Perusahaan
akhirnya dapat mengurangi downtime mesin, meningkat output / bulan,
ketersediaan waktu, efisiensi kinerja dan kinerja kualitas yang menghasilkan
peningkatan OEE (Overall Equipment Efectivness) mesin (VivekPrabhu et al,
2014).
Pengukuran
merupakan persyaratan penting untuk proses perbaikan terusmenerus. Hal ini
diperlukan untuk menetapkan metrik yang sesuai untuk tujuan pengukuran. Dari
perspektif generik, TPM (Total Produktion Maintenance) dapat didefinisikan
dalam hal efektivitas peralatan secara keseluruhan OEE (Overall Equipment
Efectivness), yang pada gilirannya dapat di anggap sebagai kombinasi antara
perawatan operasi, manajemen peralatan, dan sumber daya yang tersedia (Gupta
& Garg, 2012).
Tujuan
utama mengambil studi ini di perusahaan adalah menghitung OEE (Overall
Equipment Efectivness) yang memberi kita pemahaman tentang efisiensi mesin dan
pada gilirannya memberikan persentase penggunaan mesin yang tepat untuk
membantu kita mendeteksi kerusakan. Untuk mencapai standar baku dilakukan
dengan mengidentifikasi dan mengukur 6 kerugian besar dari proses. Kerugian
yang terjadi terutama adalah downtime, kehilangan kecepatan, kerugian kualitas
yang mempengaruhi OEE (Overall Equipment Efectivness). Untuk meminimalkan
kerugian ini dan untuk mencapai OEE (Overall Equipment Efectivness) 85%. Harus dilakukan
upaya untuk mengurangi tingkat kejadian yang dibahas dalam enam bagian kerugian
besar (Nayak et al, 2013)
Menurut
Nakajima (Nakajima, 1988), pengukuran OEE (Overall Equipment Efectivness)
adalah cara efektif untuk menganalisis efisiensi satu mesin atau sistem
manufaktur terpadu. Ini adalah fungsi ketersediaan, tingkat kinerja, dan
tingkat kualitas. Sebenarnya, tiga dimensi itu adalah ukuran kerugian
peralatan. Dalam prakteknya, OEE (Overall Equipment Efectivness) di hitung
sebagai produk dari tiga faktor pendukungnya. Di hitung untuk semua mesin
sebelum dan sesudah implementasi (Gupta dan Garg, 2012).
Daftar Pustaka
Muhtady, M.Z.Z. 2009.
Manajemen Pemeliharaan Untuk Optimalisasi Laba Perusahaan. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. 8 (1) : 35-43.
Nakajima, S. 1988.
Introduction to Total Productive Maintenance. Portland: Productivity Press, Inc.
Nayak,D,M., Kumar,V., Naidu,G,S., Shankar,V. 2103. Evaluation of OEE in
a continuous process industry on an insulation line in a cable manufacturing
unit. International Journal of Innovative
Research in Science, Engineering and
Technology, 2(5), 1629-1634.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.