.

Rabu, 21 September 2016

Kinerja Reverse Logistics

Oleh : Aam Komalasari


Abstrak
Artikel ini mengkaji pengaruh pengorganisasian dan pemanfaatan teknologi logistik dalam pengelolaan reverse logistics di perusahaan manufaktur penghasil barang/kemasan plastik terhadap kapabilitas inovasi dan komunikasi perusahaan dalam meningkatkan kinerja reverse logistics perusahaan.
Reverse logistics (RL) adalah proses perencanaan, implementasi, dan pengendalian secara efisien dan efektif aliran barang (bahan baku, sediaan dalam proses, atau barang jadi) dan informasi yang terkait, dari titik konsumsi balik ke titik asal. Menangani RL lebih rumit daripada forward logistics (logistik), sebab waktu barang retur mengalir tidak pasti dan sulit diramalkan, dan datang lebih cepat dibandingkan waktu pemrosesan. Barang retur kebanyakan tidak teridentifikasi dan wewenang penerimaan tidak standar, kondisi barang dan/atau kemasan tidak seragam, rusak atau kurang lengkap. Tambahan lagi, kebanyakan konsumen atau mitra distribusi kehilangan kepercayaan selama waktu pemrosesan. Namun demikian, RL yang dikelola dengan efisien dan efektif berpotensi mendapatkan nilai ekonomi dan meningkatkan citra positif perusahaan di konsumen dan mata rantai distribusi. Nilai ekonomi dari efisiensi RL didapat melalui pemanfaatan barang retur, diantaranya dengan memakai ulang jika masih dapat dipakai, mendaur-ulang atau melakukan kanibalisasi untuk bahan baku, perbaikan atau pabrikasi ulang untuk dijual kembali.


Pendahuluan
Apa itu Reverse logistics?
Reverse logistics berdasarkan pengertian dari The Council of Logistics Management adalah sebagai berikut :
The process of planning, implementing and controlling the efficient, cost effecting flow of raw material, in-process inventory, finished goods and related information from the point off origin for the purpose of recapturing value of proper disposal”.

Reverse logistics (RL) adalah proses perencanaan, implementasi, dan pengendalian secara efisien dan efektif aliran barang (bahan baku, sediaan dalam proses, atau barang jadi) dan informasi yang terkait, dari titik konsumsi balik ke titik asal. Tujuan RL adalah menangkap atau menciptakan kembali nilai atau untuk pembuangan barang-barang yang mengalir balik (Rogers dan Tibben-Lembke, 1999).  RL meliputi semua aktivitas logistik, namun semua barang yang ditangani mengalir dalam arah berlawanan (barang retur). menganalisis RL merupakan salah satu cara untuk mengurangi biaya, meningkatkan pendapatan dan membantu untuk memperoleh keuntungan pasar.
 Reverse Logistic itu hal yang baru atau bukan??
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu ditelusuri lebih dalam. Sebenarnya reverse logistics ini bisa menjadi sesuatu yang baru dan juga bisa bukan. Nah, pada saat kapan dia dikatakan baru? Dan pada saat kapan dikatakan tidak baru ? Ini jawabannya….
Reverse logistics dikatakan bukan hal baru jika menyangkut hal-hal
  • Persediaan produk yang berlebihan
  • Kesalahan dalam pemesanan atau pengiriman atau adanya pembatalan order
  • Produk cacat selama proses pengiriman, cacat dalam packaging juga adanya perbedaan harga
  • Adanya garansi produk
Sedangkan Reverse logistics dikatakan sebagai hal baru jika menyangkut hal-hal berikut :
  • Disposed products
  • Teknologi produk yang sudah usang
  • EOL (End of life) dari produk
Dengan reverse logistics dengan sudut pandang yang baru ini diharapkan potensi nilai yang masih ada dalam produk setelah masa EOLnya (End of Life) dapat dimanfaatkan kembali (for the purpose of recapturing value of proper disposal). Apalagi setelah banyaknya isu-isu yang mengusung mengenai reuse, remanufacture dan recycle serta regulasi-relgulasi mengenai produk yang mengarah pada sustainable environment semakin menuntut adanya Reverse Logistics itu sendiri. Adapun regulasi produk yang mengarah pada sustainable environment yang pada akhirnya memicu penerapan reverse logistics adalah sebagai berikut :
Extended Producer Responsibility (EPR)
Integrated Product Policy (IPP)
Environmentally Superior Products (ESP)
Sustainable Product and/or Service Development (SPSD)
Waste of Electric and Electronic Equipment (WEEE)

Permasalahan
Apa tantangan dalam reverse logistics?
Tentu saja penerapan reverse logistics memiliki tantangan tersendiri dalam penerapannya. Berbeda halnya dengan forward logistics, dalam reverse logistics terdapat beberapa tantangan-tantangan sebagai berikut :
  1. Peramalan pada return product menjadi lebih sulit karena tidak ada data (distribusi) yang pasti mengenai produk EOL karena kecepatan pengembalian produk yang sulit diukur.
  2. Transportasi yang cukup sulit karena harus mengumpulkan dari banyak tempat sebelum diputar kembali kedalam Supply chain (Many to One transportation). Sehingga, penentuan rute produk yang kembalipun akan menjadi semakin kompleks.
  3. Penentuan kualitas return product dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya kondisi pada saat produk dikembalikan, siapa yang menggunakan dan bagaimana cara produk digunakan.

Menangani RL lebih rumit daripada forward logistics (logistik), sebab waktu barang retur mengalir tidak pasti dan sulit diramalkan, dan datang lebih cepat dibandingkan waktu pemrosesan. Barang retur kebanyakan tidak teridentifikasi dan wewenang penerimaan tidak standar, kondisi barang dan/atau kemasan tidak seragam, rusak atau kurang lengkap. Tambahan lagi, kebanyakan konsumen atau mitra distribusi kehilangan kepercayaan selama waktu pemrosesan (Rogers dan Tibben-Lembke, 2001; Stock et al., 2002).
Rumitnya penanganan RL mengakibatkan membengkaknya biaya operasional (Trebilcock, 2001). Sebagai contoh, di Amerika Serikat biaya penanganan RL beberapa produk manufaktur rata-rata mencapai 15% total penjualan (Dowlatshahi, 2005). Lagi pula, banyak hambatan ditemui perusahaan ketika menangani RL, diantaranya manajemen perusahaan menganggap RL kurang penting, kurang kompetitif, ketiadaan sistem, dukungan finansial rendah, dan personil pengelola kurang memadai (Rogers dan Tibben-Lembke, 2001). Namun demikian, RL yang dikelola dengan efisien dan efektif berpotensi mendapatkan nilai ekonomi dan meningkatkan citra positif perusahaan di konsumen dan mata rantai distribusi (Bernon et al., 2004). Nilai ekonomi dari efisiensi RL didapat melalui pemanfaatan barang retur, diantaranya dengan memakai ulang jika masih dapat dipakai, mendaur-ulang atau melakukan kanibalisasi untuk bahan baku, perbaikan atau pabrikasi ulang untuk dijual kembali (Stock, 2001).
Di samping itu, potensi ekonomi yang tidak langsung adalah penghematan biaya operasional logistik, seperti pengurangan biaya distribusi aliran balik dan pemrosesan/transaksi (Stock et al., 2002).  RL yang dikelola dengan efektif membantu meningkatkan pelayanan purna jual. Pelayanan purna jual yang baik, yakni cepat tanggap terhadap keluhan dan mampu memberikan kepastian penyelesaian masalah retur, akan meningkatkan citra positif perusahaan (Daugherty et al., 2004; De Brito et al., 2002). Di sisi lain, RL yang dikelola secara efektif untuk mengendalikan barang purna jual membantu mengendalikan dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai contoh, persyaratan lingkungan Uni Eropa, EC’s Directives on Packaging and Packaging Waste, yang mewajibkan perusahaan mengambil alih tanggung-jawab pengelolaan sampah, dengan meminimalkan, menggunakan kembali, dan mendaur-ulang sampah barang atau kemasan yang telah mereka jual, dapat mengurangi pencemaran lingkungan secara signifikan (Bernon et al., 2004). Perusahaan yang mampu mengurangi dampak negatif terhadap barang yang telah dipasarkannya, akan memiliki citra positif dimata mitra rantai pasoknya.

Kesimpulan
Berdasarkan fenomena di atas, pertanyaan yang perlu dikaji adalah bagaimana pengelolaan RL, yang rumit dan membutuhkan biaya besar, dapat dilakukan secara efisien dan efektif sehingga dapat menguntungkan perusahaan secara ekonomi dan dapat meningkatkan citra positif perusahaan. Untuk menjawab pertanyaan ini, dilakukan kajian mengenai sumberdaya dan kapabilitas yang diperlukan perusahaan penghasil barang dan/atau kemasan, sehingga dapat menangani RL secara efisien dan efektif dalam usaha mendapatkan manfaat ekonomi dan citra positif. Berdasarkan penelitian pada beberapa perusahaan manufaktur yang memproduksi barang/kemasan, didapatkan bahwa kapabilitas inovasi perusahaan dengan didukung oleh komitmen perusahaan mengorganisasikan dan mendayagunakan teknologi logistik terbukti memengaruhi secara signifikan kinerja RL. Kapabilitas inovasi yang berperan penting disini adalah kemampuan melakukan kustomisasi, sedangkan dalam organisasi pengelola RL yang terpenting adalah anggaran dan dalam teknologi logistik yang berperan adalah pemanfaatan sarana pertukaran data/informasi antara perusahaan dan mitra rantai distribusi secara elektronik.

Saran
Reserve Logistic seharusnya dikelola dengan efisien dan efektif karena dengan begitu akan berpotensi mendapatkan nilai ekonomi dan meningkatkan citra positif perusahaan di konsumen dan mata rantai distribusi. Nilai ekonomi dari efisiensi RL didapat melalui pemanfaatan barang retur, diantaranya dengan memakai ulang jika masih dapat dipakai, mendaur-ulang atau melakukan kanibalisasi untuk bahan baku, perbaikan atau pabrikasi ulang untuk dijual kembali. ).  RL yang dikelola dengan efektif membantu meningkatkan pelayanan purna jual. Pelayanan purna jual yang baik, yakni cepat tanggap terhadap keluhan dan mampu memberikan kepastian penyelesaian masalah retur, akan meningkatkan citra positif perusahaan.

Daftar Pustaka

I Nyoman Sutapa. 2009. Komitmen Dan Kapabilitas Untuk Meningkatkan  Kinerja Reverse Logistics. Jurnal Teknik Industri,  Vol. 11,  No. 2, Desember 2009, pp. 163-173 ISSN 1411-2485. Dalam http://www.oalib.com/paper/2068427#.V-FdPiRozIU

Dazzdays. 2009. Reverse Logistics Intro. Wordpress.com dalam link https://dazzdays.wordpress.com/2009/06/07/reverse-logistics-intro/#comment-202

Rogers, D. S., and Tibben-Lembke, R., 1999. Going Backwards: Reverse Logistics Trends and Practices, Reverse Logistics Executive Council, University of Nevada, Reno Center for Logistics Management.
Rogers, D. S., and Tibben-Lembke, R., 2001. “An Examination of Reverse Logistics Practices.” Journal of Business Logistics, Vol. 22, No. 2, pp. 129-148.
Trebilcock, B., 2001. “Why are Return so Tough?” Modern Materials Handling, Vol. 56, No. 11, pp. 45-51.
Dowlatshahi, S., 2005. “A Strategic Framework for The Design and Implementation of Remanufacturing Operations in Reverse Logistics.” International Journal of Production Research, Vol. 43, No. 16, pp. 3455-3480
Bernon, M., Cullen, J., and Rowat, C., 2004. “The Efficiency of Reverse Logistics.” Working Paper, Cranfield University, UK. 
Stock, J. R., 2001. “The Seven Deadly Sins of Reverse Logistics.” Material Handling Management, Vol. 56, No. 3, pp. 5-11.
Stock, J. R., Speh, T. W., and Shear, L. H., 2002. “Many Happy (Product) Return.” Harvard Business Review, Vol. 80, No. 7, pp. 16-17.
Daugherty, P. J., Myers, M. B., and Richey, R. G., 2002. “Information Support for Reverse Logistics: The Influence of Relationship Commitment.” Journal of Business Logistics, Vol. 23, No. 1, pp. 85-106.
Bernon, M., Cullen, J., and Rowat, C., 2004. “The Efficiency of Reverse Logistics.” Working Paper, Cranfield University, UK. 

1 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.