.

Kamis, 26 Maret 2020

PENERAPAN RAGAM BAHASA INDONESIA DALAM KOMUNIKASI POLITIK

PENERAPAN RAGAM BAHASA INDONESIA DALAM KOMUNIKASI POLITIK

@J14-Kalvin Fanuela


Bahasa Indonesia hadir sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan melalui sumpah pemuda pada 1928 meneguhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pemersatu dari berbagai ragam ras, agama dan suku bangsa. Pasca kemerdekaan, bahasa Indonesia semakin memperkokoh eksistensinya sebagai bahasa “administrasi negara”. Jika dilihat dari kedua sisi ini, maka bahasa Indonesia telah berkontribusi dalam perkembangan sosial, budaya maupun politik bagi bangsa Indonesia. Setelah reformasi, bahasa Indonesia terus mengalami perkembangan. Salah satunya dalam pemanfaatan bahasa dalam komunikasi politik, khususnya kampanye politik. Pemanfaatan bahasa ini bertujuan untuk meraih simpati, menarik perhatian, dan membuat persepsi terhadap masyarakat untuk menentukan pilihan dalam pemilihan umum. Ragam bahasa dalam kampanye politik dituntut dapat menyampaikan pesan, informasi, dan tujuan serta mampu menjaga keharmonisan budaya masyarakat. Hal ini, berhubungan dengan norma-norma sosial dan sistem budaya yang berlaku dalam masyarakat ketika berinteraksi. Interaksi santun ini untuk menghindari ketersinggungan bahkan kesalahpahaman sehingga dapat memperkecil munculnya konflik dan menciptakan keharmonisan hubungan caleg partai dengan masyarakat. Ragam bahasa juga memiliki nilai budaya yang berkaitan dengan kesopanan, rasa hormat, sikap yang baik, etika berbahasa, atau perilaku yang pantas. 

Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Rabiah, 2014). Menurut situasi penggunaan, ragam bahasa terbagi ke dalam ragam bahasa formal dan ragam bahasa non-formal. Ragam bahasa formal menurut Nasucha, dkk dalam Nimmo (2010) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) menggunakan unsur gramatikal secara eksplisit dan konsisten; (2) menggunakan imbuhan secara lengkap; (3) menggunakan kata ganti resmi; (4) menggunakan kata baku; (5) menggunakan ejaan yang disempurnakan; dan (6) menghindari unsur kedaerahan. Ragam bahasa non-formal menurut Sri Pamungkas (2012) mempunyai pengertian sebagai ragam bahasa yang digunakan dalam situasi non-formal (tidak resmi). Ragam ini digunakan dalam situasi santai dan penuh keakraban. Ragam bahasa non-formal didasari terjadinya komunikasi dan penggunaan raga mini adalah karena saling mengerti antara pembicara (komunikator) dan lawan bicara (komunikan). Bahasa non-formal mempunyai sifat yang khas, yaitu: (1) kalimat yang digunakan adalah kalimat-kalimat sederhana (kalimat tidak lengkap) yang tidak dibatasi oleh aturan harus berpola SP, SPO, SPOK dan seterusnya; (2) subjek jarang dimunculkan (diimplisitkan); (3) menggunakan kata-kata yang lazim dipakai sehari-hari (kata-kata atau diksi ragam non-formal).

Menurut Roelofs dan Barn Lund dalam Harun dan Sumarno (2006) komunikasi politik adalah politik yang berbicara atau untuk menempatkan masalah ini, lebih tepatnya aktivitas politik (politisasi) berbicara. Dari pengertian komunikasi politik yang diungkapkan Roelofs dan Barn memberikan gambaran bahwa komunikasi politik lebih memusatkan kajiannya pada bobot materi muatan yang berisi pesan-pesan politik (isu politik, peristiwa dan perilaku politik) individu-individu baik sebagai penguasa maupun yang berada dalam asosiasi-asosiasi kemasyarakatan atau asosiasi politik. Berdasarkan seni dan teknik aplikasi, komunikasi politik dibagi ke dalam lima bentuk, antara lain: retorika politik, agitasi politik, propaganda politik, lobi politik, dan tindakan politik yang dapat dilakukan dalam kegiatan politik yang terorganisasi seperti: public relation politik, pemasaran politik dan kampanye politik.

Kampanye politik merupakan penerapan dari komunikasi politik oleh kandidat kepada khalayak. Penampilan yang ditunjukkan saat menyampaikan pesannya di depan khalayak/masyarakat perlu ditunjang dengan ragam bahasa yang sesuai serta pesan yang jelas. Ragam bahasa Indonesia yang tepat digunakan dalam kampanye politik dengan model kampanye terbuka adalah ragam bahasa informal, sedangkan ragam bahasa dalam model kampanye dialogis adalah ragam bahasa formal.


DAFTAR PUSTAKA

Harun, Rochhajat dan Sumarno AP. 2006. Komunikasi Politik sebagai Suatu Pengantar. Bandung: CV Mandar Maju.

Nimmo, Dan. 2010. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: Remaja Rosdakarya

Pamungkas, Sri. 2012. Bahasa Indonesia dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Rabiah, Sitti. 2014. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Makassar: De La Macca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.