.

Kamis, 28 September 2017

Teknologi Bahan Bakar Nabati














@G40-Sefrina Indonesia menghadapi tantangan dari sektor energi,  tantangan yang dihadapi berupa meningkatkan penyediaan listrik untuk mendukung seluruh sektor perekonomian dan meredam impor bahan bakar minyak (BBM) maupun minyak bumi mentah yang volumenya terus membesar akibat meningkatnya kegiatan transportasi, industri, maupun penyediaan listrik dan menurunnya produksi (lifting) minyak bumi di dalam negeri.
Menurut Wardhana (2015) sesuai Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pada tahun 2025 konsumsi energi dari minyak bumi ditargetkan turun menjadi kurang dari 20%. Sementara optimalisasi pemanfaatan batu bara ditingkatkan menjadi lebih dari 33%, gas bumi lebih dari 30%, biofuel lebih dari 5%, panas bumi lebih dari 5%, batu bara cair lebih dari 2% dan energi baru terbarukan lainnya seperti biomassa, nuklir, angin, tenaga surya menjadi lebih dari 5%.
Oleh karena itu peningkatan produksi dan pemanfaatan bahan bakar nabati atau BBN, yaitu bahan bakar cair yang berasal dari sumber-sumber nabati (hayati) dan bersifat serupa sehingga dapat dicampurkan ke dalam BBM, merupakan cara yang paling efektif untuk menjawab kedua tantangan utama tersebut.
Ada 2 jenis BBN menurut Soerawidjaja (2016), yaitu BBN oksigenat (beroksigen) dan BBN biohidrokarbon (hidrokarbon terbarukan). Sesuai dengan namanya, BBN oksigenat mengandung atom-atom oksigen dan, karenanya, memiliki dua sifat utama yaitu, hanya bisa dicampurkan ke dalam BBM padanannya sampai kadar beberapa puluh persen-volume saja (karena pada kadar lebih besar akan mengharuskan modifikasi mesin pengguna) dan keberadaan atau pencampurannya ke dalam BBM membuat emisi mesin (kendaraan) lebih bersih dibanding jika hanya berbahan bakar BBM murni. Di lain pihak, BBN biohidrokarbon sama sekali tidak mengandung atom-atom oksigen dan terdiri atas hidrokarbon-hidrokarbon dalam kelas yang sama dengan hidrokarbon-hidrokarbon di dalam BBM padanannya tetapi berasal atau terbuat dari sumber daya nabati (definisi ilmiah sejati dari BBM sebenarnya adalah bahan bakar hidrokarbon cair asal/basis fosil). 
BBN biohidrokarbon bisa dicampurkan ke dalam BBM padanannya pada kadar berapa saja, bahkan sampai kadar 100 %-volume (alias murni) sekalipun, tanpa mengharuskan dilakukannya modifikasi pada mesin pengguna. Karena kebebasan level pencampurannya ini, di dalam bahasa Inggris, BBN biohidrokarbon disebut drop-in biofuels. Bioetanol dan biodiesel adalah dua BBN oksigenat paling utama dan keduanya sekarang telah dikenal baik oleh industri bahan bakar cair di Indonesia. Bioetanol adalah padanan bensin (premium/pertamax/pertamax-plus) sedang biodiesel adalah padanan solar atau minyak diesel. Bioetanol diproduksi dari bahan berkarbohidrat, terutama yang bergula dan/atau berpati, sedangkan biodiesel diproduksi dari minyak-lemak nabati. BBN biohidrokarbon belum lagi diproduksi dan digunakan di Indonesia, sehingga relatif masih belum banyak dikenal. Kelas-kelas utama BBN biohidrokarbon adalah minyak diesel hijau (green diesel), bensin nabati (biogasoline), dan bioavtur (jet biofuel, BBN untuk mesin pesawat terbang jet). Dewasa ini, ketiga BBN biohidrokarbon tersebut diproduksi dari minyak-lemak nabati.
Dalam website Puslitbangbun (2013) berdasarkan studi literatur dan lapangan yang telah dilakukan, tanaman perkebunan yang berpotensi sebagai bahan bakar nabati (BBN) adalah aren, bunga matahari, jarak pagar, kelapa, kemiri sunan, kesambi, nyamplung, sagu, simalakian, dan wijen.
Gambar dari website Puslitbangun

Aren (Arenga pinnata)
Produksi nira aren pada umur 6-12 berkisar 8-22 liter/pohon/hari. Untuk memperoleh 1 liter etanol (kadar alkohol 70-90%) dibutuhkan 20-25 liter nira aren segar.

Bunga Matahari (Helianthus annus L.)
Panen pada umur 120 hari setelah tanam. Produksi rata-rata sekitar 2,2 ton/hektar untuk penanaman sepanjang musim dan 1,7 ton/hektar untuk penanaman 2 kali. Kadar minyak 25-50%.

Jarak Kepyar (Ricinus communis L.)
Panen pada umur 100-105 hari tergantung varietas. Ada 3 varietas, yaitu Asb 22, Asb 60, dan Asb 81, tetapi yang diminati petani adalah Asb 81, karena batang lebih kekar, tahan pada perubahan iklim, dan proses pembijiannya lebih mudah. Produksi rata-rata 1,6 ton/hektar. Kadar minyak 53-56%.

Kelapa (Cocos nucifera L.)
Daging buah kelapa merupakan salah satu sumber BBN yang diolah menjadi cocodiesel. Cocodiesel dapat secara langsung digunakan atau dicampur dengan solar. Nira dan air kelapa dapat juga dibuat bioetanol. Perkebunan kelapa bisa menghasilkan gula 19 ton/hektar/tahun setara dengan 12,9 m3 bioetanol/hektar/tahun. Air kelapa melalui proses penambahan starter, fermentasi, destilasi, dan dehidrasi, akan dihasilkan bietanol.

Kemiri Sunan (Aleurites trisperma Blanco)
Potensi produksi pada umur >10 tahun dapat mencapai 250 kg/pohon/hektar, apabila populasi 100 pohon/hektar, maka dapat dihasilkan 25 ton biji dan setara dengan 9.805 liter minyak kasar.

Kesambi (Schleichera oleosa Merr)
Daging biji mengandung minyak 70%. Tanaman kesambi di Indonesia belum banyak dibudidayakan secara intensif.
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.)
Berbuah mulai umur 5-20 tahun dan berbuah 2 kali setahun. Kadar minyak 50%. Minyak biji nyamplung memiliki lama pembakaran 2 kali lipat dibanding dengan minyak tanah.
Sagu (Metroxylon spp.)
Umur panen batang sagu 7-10 tahun. Rata-rata produksi sagu 15 ton/hektar/tahun dan bila difermentasi akan menghasilkan 7,5 kilo liter bioetanol.
Simalakian (Croton tiglium)
Produksi buah pada tahun pertama + 0,3-0,5 ton/hektar dan meningkat hingga 3-5 ton/hektar setelah dewasa. Rendemen minyak 25-26% sehingga produksi minyak dapat mencapai 1,2 – 2,5 ton/hektar/tahun.
Wijen (Semamum indicum L.)
Umur panen bervariasi antara 2,5-5 bulan. Potensi produksi 0,9-1,6 ton/hektar. Kadar minyak 45-55%. MInyak wijen juga berpotensi sebagai biofuel dengan melalui proses transesterifikasi untuk menghasilkan biodiesel.

Salah satu institusi yang telah mengembangkan teknologi BBT adalah Badan Pusat Pelayanan Teknologi (BPPT), yang dalam websitenya Oktaufik (2011)  menyatakan Pengembangan teknologi biodiesel BPPT berawal dari biodiesel generasi 1 sejak tahun 2000, yang dibuat dengan mengkonversi minyak nabati menjadi menjadi biodiesel dengan by product gliserol yang pabriknya sudah diaplikasikan di sejumlah lokasi seperti Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera.  Selain biodiesel generasi 1, BPPT juga telah mengembangkan biodiesel melalui jalur hydrotreating yang menjadi bagian dari teknologi biodiesel generasi 1,5 dan generasi 2 yang lebih mengarah pada pemanfaatan biomassa melalui berbagai proses seperti liquifaksi dan gasifikasi untuk menghasilkan produk seperti bahan bakar diesel, kerosin dan premium.

Daftar Pustaka:


Anonimus. 2013. Tanaman Perkebunan Penghasil BBN.  [online]. 
Tersedia: http://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/?p=5657 .  [28 September 2017].



Anonimus. 2011. Generasi 2 Biodiesel Gunakan Limbah Kelapa Sawit[online]. Tersedia: https://www.bppt.go.id/profil/organisasi/deputi-tirbr/40-berita-bppt-3/berita-teknologi-informasi-energi-material/924-generasi-2-biodiesel-gunakan-limbah-kelapa-sawit .  [28 September 2017].

Hernas Soerawidjaja, Tatang. 2016. Bahan-bahan Bakar Nabati dan Potensi Produksinya di Indonesia. [online]. Tersedia: https://pii.or.id/bahan-bahan-bakar-nabati-dan-potensi-produksinya-di-indonesia [28 September 2017].


Wardhana, Hendra. 2015. Bahan Bakar Nabati, Energi Untuk Masa Depan Indonesia[online]. Tersedia: http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/bahan-bakar-nabati-energi-untuk-masa-depan-indonesia_5529658ff17e61096b8b4585  .  [28 September 2017].


Anonimus. 2011. Pengembangan Bahan Bakar Nabati di Indonesia[online]. Tersedia: http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/pengembangan-bahan-bakar-nabati-di-indonesia . [28 September 2017].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.