Menurut Wardhana (2015) sesuai Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pada tahun 2025 konsumsi energi dari minyak bumi ditargetkan turun menjadi kurang dari 20%. Sementara optimalisasi pemanfaatan batu bara ditingkatkan menjadi lebih dari 33%, gas bumi lebih dari 30%, biofuel lebih dari 5%, panas bumi lebih dari 5%, batu bara cair lebih dari 2% dan energi baru terbarukan lainnya seperti biomassa, nuklir, angin, tenaga surya menjadi lebih dari 5%.
Oleh
karena itu peningkatan produksi dan pemanfaatan bahan bakar nabati atau BBN,
yaitu bahan bakar cair yang berasal dari sumber-sumber nabati (hayati) dan
bersifat serupa sehingga dapat dicampurkan ke dalam BBM, merupakan cara yang
paling efektif untuk menjawab kedua tantangan utama tersebut.
Ada 2
jenis BBN menurut Soerawidjaja (2016), yaitu BBN
oksigenat (beroksigen) dan BBN biohidrokarbon (hidrokarbon terbarukan). Sesuai
dengan namanya, BBN oksigenat mengandung atom-atom oksigen dan, karenanya,
memiliki dua sifat utama yaitu, hanya bisa dicampurkan ke dalam BBM padanannya
sampai kadar beberapa puluh persen-volume saja (karena pada kadar lebih besar
akan mengharuskan modifikasi mesin pengguna) dan keberadaan atau pencampurannya
ke dalam BBM membuat emisi mesin (kendaraan) lebih bersih dibanding jika hanya
berbahan bakar BBM murni. Di lain pihak, BBN biohidrokarbon sama sekali tidak
mengandung atom-atom oksigen dan terdiri atas hidrokarbon-hidrokarbon dalam
kelas yang sama dengan hidrokarbon-hidrokarbon di dalam BBM padanannya tetapi
berasal atau terbuat dari sumber daya nabati (definisi ilmiah sejati dari BBM
sebenarnya adalah bahan bakar hidrokarbon cair asal/basis fosil).
BBN biohidrokarbon bisa dicampurkan ke dalam BBM padanannya pada kadar
berapa saja, bahkan sampai kadar 100 %-volume (alias murni) sekalipun, tanpa
mengharuskan dilakukannya modifikasi pada mesin pengguna. Karena kebebasan
level pencampurannya ini, di dalam bahasa Inggris, BBN biohidrokarbon disebut
drop-in biofuels. Bioetanol dan biodiesel adalah dua BBN oksigenat paling utama
dan keduanya sekarang telah dikenal baik oleh industri bahan bakar cair di
Indonesia. Bioetanol adalah padanan bensin (premium/pertamax/pertamax-plus)
sedang biodiesel adalah padanan solar atau minyak diesel. Bioetanol diproduksi
dari bahan berkarbohidrat, terutama yang bergula dan/atau berpati, sedangkan
biodiesel diproduksi dari minyak-lemak nabati. BBN biohidrokarbon belum lagi
diproduksi dan digunakan di Indonesia, sehingga relatif masih belum banyak
dikenal. Kelas-kelas utama BBN biohidrokarbon adalah minyak diesel hijau (green
diesel), bensin nabati (biogasoline), dan bioavtur (jet biofuel, BBN untuk
mesin pesawat terbang jet). Dewasa ini, ketiga BBN biohidrokarbon tersebut
diproduksi dari minyak-lemak nabati.
Dalam website Puslitbangbun (2013) berdasarkan studi literatur dan lapangan yang telah
dilakukan, tanaman perkebunan yang berpotensi sebagai bahan bakar nabati (BBN)
adalah aren, bunga matahari, jarak pagar, kelapa, kemiri sunan, kesambi,
nyamplung, sagu, simalakian, dan wijen.
Produksi nira aren pada umur 6-12 berkisar 8-22
liter/pohon/hari. Untuk memperoleh 1 liter etanol (kadar alkohol 70-90%)
dibutuhkan 20-25 liter nira aren segar.
Bunga Matahari (Helianthus annus L.)
Panen pada umur 120 hari setelah tanam. Produksi
rata-rata sekitar 2,2 ton/hektar untuk penanaman sepanjang musim dan 1,7 ton/hektar
untuk penanaman 2 kali. Kadar minyak 25-50%.
Jarak Kepyar (Ricinus communis L.)
Panen pada umur 100-105 hari tergantung varietas. Ada 3
varietas, yaitu Asb 22, Asb 60, dan Asb 81, tetapi yang diminati petani adalah
Asb 81, karena batang lebih kekar, tahan pada perubahan iklim, dan proses
pembijiannya lebih mudah. Produksi rata-rata 1,6 ton/hektar. Kadar minyak
53-56%.
Kelapa (Cocos nucifera L.)
Daging buah kelapa merupakan salah satu sumber BBN yang
diolah menjadi cocodiesel. Cocodiesel dapat secara langsung digunakan atau
dicampur dengan solar. Nira dan air kelapa dapat juga dibuat bioetanol.
Perkebunan kelapa bisa menghasilkan gula 19 ton/hektar/tahun setara dengan 12,9
m3 bioetanol/hektar/tahun. Air kelapa melalui proses penambahan starter,
fermentasi, destilasi, dan dehidrasi, akan dihasilkan bietanol.
Kemiri Sunan (Aleurites trisperma Blanco)
Potensi produksi pada umur >10 tahun dapat mencapai
250 kg/pohon/hektar, apabila populasi 100 pohon/hektar, maka dapat dihasilkan
25 ton biji dan setara dengan 9.805 liter minyak kasar.
Kesambi (Schleichera oleosa Merr)
Daging biji mengandung minyak 70%. Tanaman kesambi di
Indonesia belum banyak dibudidayakan secara intensif.
Nyamplung
(Calophyllum
inophyllum L.)
Berbuah mulai umur 5-20 tahun dan berbuah 2 kali setahun.
Kadar minyak 50%. Minyak biji nyamplung memiliki lama pembakaran 2 kali lipat
dibanding dengan minyak tanah.
Sagu (Metroxylon spp.)
Umur panen batang sagu 7-10 tahun. Rata-rata produksi
sagu 15 ton/hektar/tahun dan bila difermentasi akan menghasilkan 7,5 kilo liter
bioetanol.
Simalakian (Croton tiglium)
Produksi buah pada tahun
pertama + 0,3-0,5 ton/hektar dan meningkat hingga 3-5
ton/hektar setelah dewasa. Rendemen minyak 25-26% sehingga produksi minyak
dapat mencapai 1,2 – 2,5 ton/hektar/tahun.
Wijen
(Semamum
indicum L.)
Umur panen bervariasi antara 2,5-5 bulan. Potensi
produksi 0,9-1,6 ton/hektar. Kadar minyak 45-55%. MInyak wijen juga berpotensi
sebagai biofuel dengan melalui proses transesterifikasi untuk menghasilkan biodiesel.
Salah satu institusi yang telah mengembangkan teknologi BBT adalah Badan
Pusat Pelayanan Teknologi (BPPT), yang dalam websitenya Oktaufik (2011) menyatakan Pengembangan teknologi biodiesel BPPT
berawal dari biodiesel generasi 1 sejak tahun 2000, yang dibuat dengan
mengkonversi minyak nabati menjadi menjadi biodiesel dengan by product
gliserol yang pabriknya sudah diaplikasikan di sejumlah lokasi
seperti Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Selain biodiesel generasi 1,
BPPT juga telah mengembangkan biodiesel melalui jalur hydrotreating yang
menjadi bagian dari teknologi biodiesel generasi 1,5 dan generasi 2 yang lebih
mengarah pada pemanfaatan biomassa melalui berbagai proses seperti liquifaksi
dan gasifikasi untuk menghasilkan produk seperti bahan bakar diesel, kerosin
dan premium.
Daftar Pustaka:
Anonimus. 2013. Tanaman Perkebunan Penghasil BBN. [online].
Tersedia: http://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/?p=5657 . [28 September 2017].
Hernas Soerawidjaja, Tatang. 2016. Bahan-bahan Bakar Nabati dan Potensi Produksinya di Indonesia. [online]. Tersedia: https://pii.or.id/bahan-bahan-bakar-nabati-dan-potensi-produksinya-di-indonesia [28 September 2017].
Wardhana, Hendra. 2015. Bahan Bakar Nabati, Energi Untuk Masa Depan Indonesia. [online]. Tersedia: http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/bahan-bakar-nabati-energi-untuk-masa-depan-indonesia_5529658ff17e61096b8b4585 . [28 September 2017].
Anonimus. 2011. Pengembangan Bahan Bakar Nabati di Indonesia. [online]. Tersedia: http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/pengembangan-bahan-bakar-nabati-di-indonesia . [28 September 2017].
Daftar Pustaka:
Tersedia: http://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/?p=5657 . [28 September 2017].
Anonimus. 2011. Generasi 2 Biodiesel Gunakan Limbah Kelapa Sawit. [online]. Tersedia: https://www.bppt.go.id/profil/organisasi/deputi-tirbr/40-berita-bppt-3/berita-teknologi-informasi-energi-material/924-generasi-2-biodiesel-gunakan-limbah-kelapa-sawit . [28 September 2017].
Wardhana, Hendra. 2015. Bahan Bakar Nabati, Energi Untuk Masa Depan Indonesia. [online]. Tersedia: http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/bahan-bakar-nabati-energi-untuk-masa-depan-indonesia_5529658ff17e61096b8b4585 . [28 September 2017].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.