EFEKTIVITAS BUBUK BIJI PEPAYA (CARICA PAPAYA LINNAEUS) SEBAGAI LARVASIDA AEDES SP INSTAR III
ABSTRAK
Kasus DBD dari tahun ke tahun selalu
mengalami peningkatan, sehingga perlu dilakukannya pengendalian kasus DBD,
salah satu cara penegendalian DBD membunuh larva nyamuk dengan menggunakan cara
abatisasi. Penggunaan abate mempunyai kelemahan yang bisa berpengaruh terhadap
pengguna abate dan terjadinya resistensi pada nyamuk Aedes sp. Biji pepaya
sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai pembasmi jentik nyamuk Aedes sp karena
memiliki racun yang terkandung dalam biji pepaya adalah saponin. Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui efektivitas bubuk biji pepaya sebagai
larvasida Aedes sp.
Jenis penelitian ini adalah True
Eksperimen dengan desain penelitian Posttest Only Control Group Design,
menggunakan 4 perlakuan (10 ml, 20 ml, 30 ml, dan 40 ml) dan 1 kontrol. Objek
yang digunakan sebanyak 300 Larva Aedes sp yang telah mencapai instar III.
Bubuk biji pepaya di ekstraksi dengan cara metode maserasi Masing-masing
perlakuan berisi 20 larva dan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Data
dianalisis secara univariat dan bivariat.
Hasil Analisis univariat jumlah
larva yang mati pada bebagai dosis yang mati pada total persentase terendah 35
% pada dosis 10 ml dan persentase tertinggi 100 % pada dosis 40 ml. Hasil uji
analisis bivariat one way anova adanya jumlah perbedaan jumlah larva yang mati,
dengan didapatkan nilai sig. = 0,000, sehingga ρ < α (0,05) artinya ada
pengaruh yang signifikan terhadap perbedaan dosis larutan bubuk biji pepaya
yang dipakai terhadap kematian larva Aedes sp. Hasil analisis Bonferroni
menunjukan dosis 40 ml efektif sebagai larvasida Aedes sp instar III.
Pengendalian larva Aedes sp dengan menggunakan larutan bubuk biji pepaya dapat
dilakukan dengan cara memasukkan larutan bubuk biji pepaya sebanyak 40 ml
setiap 1 liter air selama 24 jam pemaparan.
Kata
Kunci : larvasida biji pepaya, saponin, dan larva Aedes sp
Pendahuluan
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue, ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
sp yang terinfeksi dan karenanya dianggap sebagai arbovirus (virus yang ditularkan melalui arthropoda). Bila
terinfeksi, nyamuk tetap akan terinfeksi sepanjang hidupnya. Nyamuk jantan akan
menyimpan virus pada nyamuk betina saat melakukan kontak seksual selanjutnya,
nyamuk betina tersebut akan menularkan virus ke manusia melalui gigitan (WHO,
1999).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang cenderung semakin luas
penyebarannya sejalan dengan peningkatan arus transportasi dan kepadatan
penduduk. Penyakit ini terutama menyerang anak-anak, dapat menimbulkan kematian
dan sering menimbulkan wabah (Kementerian Kesehatan RI, 2007).
Deman Berdarah Dengue (DBD) Sejak tahun 1968 telah terjadi
peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD.
Berdasarkan situasi tersebut WHO menetapkan Indonesia sebagai salah satu negara
hiperendemik dengan jumlah provinsi yang terkena DBD sebanyak 32 dari 33
provinsi di Indonesia (Achmadi, 2010).
Profil kesehatan Indonesia mencatat data tentang penyakit
DBD tahun 2008 yaitu 137.469 kasus dan 1.187 diantaranya meninggal dunia, tahun
2009 yaitu 158.912 kasus dan 1.420 diantaranya meninggal dunia, tahun 2010
yaitu 156.085 kasus dan 1.358 diantanya meninggal dunia, dan tahun 2011 yaitu 65.432 kasus dan tahun 2012
yaitu 595 diantaranya meninggal dunia. Berdasarkan informasi di atas maka
didapatkan penurunan jumlah kasus 99,7 %
antara jumlah kasus DBD di Indonesia dengan jumlah kasus di Provinsi
Bengkulu. (Kementerian Kesehatan Indonesia, 2008-2012).
Kasus penderita (DBD) di Provinsi Bengkulu tahun 2012 juga
tercatat sebanyak 409 kasus yang terjangkit dan menyebar di 67 Kelurahan
Provinsi Bengkulu dan meninggal dunia 2 orang. Kasus tersebut meningkat dari tahun
2011 yang hanya 300 kasus. Berdasarkan informasi di atas maka didapatkan
penurunan jumlah kasus 47,77 % antara jumlah kasus DBD di Provinsi Bengkulu
dengan Kota Bengkulu. (Dinkes Provinsi Bengkulu, 2012).
Dinas Kesehatan Kota Bengkulu mencatat jumlah penderita
demam berdarah dengue (DBD) Sejak tahun ke tahun mengalami peningkatan jumlah
penderita demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 2012 mencapai 470 orang jauh
lebih meningkat dibandingkan periode yang sebelumya. Warga kota Bengkulu yang
terjangkit penyakit demam berdarah dengue hingga akhir Februari 2012 tercatat
102 orang dan 2 orang diantaranya meninggal dunia (Dinkes Kota Bengkulu, 2012)
Melihat
cara pengendalian secara kimiawi dengan sasaran nyamuk atau larva kemungkinan
ada dampak negatif yang ditimbulkan yaitu terjadi resistensi Aedes sp yang
diakibatkan dari penggunaan cara pengendalian secara kimiawi. Bentuk
pengendalian lain dapat dilakukan secara mekanik, biologi, kimia, atau
perubahan sifat genetik. Digunakannya insektisida karena bekerja lebih efektif
dan hasilnya cepat terlihat. Namun hal ini mempunyai dampak negatif antara lain
pencemaran lingkungan, kematian predator, resistensi serangga sasaran, dapat
membunuh hewan peiiharaan, bahkan mengganggu kesehatan manusia. Sejauh ini
langkah yang telah dilakukan masyarakat adalah abatisasi. Abatisasi dilakukan
untuk mengendalikan larva nyamuk dan dosis yang dipakai cenderung lebih rendah
dengan alasan air yang ditaburi abate berbau kurang sedap, karena ini memang
adalah salah satu kelemahan formulasi temefos SG. Lebih tingginya frekuensi
abatisasi ini dapat mendorong terjadinya resistensi pada populasi Aedes sp. Selain itu, pemakaian abate
selama 30 tahun memang memungkinkan berkembangnya resistensi (Mulla, 2004). Melihat
berbagai alasan tersebut maka perlu dilakukan suatu usaha mendapatkan
insektisida alternatif yaitu menggunakan insektisida alami, yakni insektisida
yang dihasilkan oleh tanaman beracun terhadap serangga tetapi tidak mempunyai
efek samping terhadap lingkungan dan tidak berbahaya bagi manusia.
Metode
yang paling efektif untuk mengendalikan nyamuk vektor demam berdarah adalah
dengan cara membunuh jentik-jentiknya (Nurhasanah, 2001). Larvasida yang
merupakan salah satu insektisida dapat menjadi alternatif pengendalian demam
berdarah. Larvasida alami dapat ditemukan dalam tumbuhan yang didalamnya
terkandung senyawa yang berfungsi sebagai larvasida, diantaranya adalah
golongan sianida, saponin, tanin, flavonoid, alkaloid, steroid dan minyak
atsiri (Kardinan, 2000). Salah satu tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai
larvasida adalah pepaya. Biji pepaya merupakan bagian yang mengandung senyawa
kimia golongan alkaloid, saponin, flavonoid.
Berdasarkan
uraian di atas peneliti ingin mencoba menggunakan biji pepaya sebagai larvasida
alami dan mengetahui daya bunuh ekstrak biji pepaya terhadap larva nyamuk Aedes
sp dalam berbagai dosis Penggunaan biji pepaya diharapkan mampu menjadi
alternatif larvasida alami yang aman dan mampu membunuh larva Aedes sp sebagai
upaya mengurangi tingginya angka penyakit DBD di Indonesia.
Metode Penelitian
2.1 Alat
Mortal dan pastel, ovitrap, kain kasa, gelas aqua, baskom,
nampan, labu ukur, water bath, counter.
2.2 Bahan
Ekstrak biji pepaya, larva aedes sp instar III, , alkohol 96%.
2.3 Cara Kerja
Proses
kolonisasi larva dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan ovitrap
yang diletakkan didekat tempat-tempat perindukan nyamuk dan juga dengan cara
pencidukan larva pada tempat-tempat perindukkan nyamuk.. Setelah telur berubah
menjadi larva maka larva diberi makan pelet ikan yang telah dihaluskan sebagai
makanan bagi larva agar larva tetap
hidup. Larva yang digunakan sebagai penelitian adalah larva instar ke
III.
Proses
pembuatan ekstrak biji pepaya mendapatkan hasil ekstraksi yang baik, maka biji
pepaya dikering anginkan terlebih dahulu selama 5 hari dengan suhu 25°C/suhu
kamar sehingga kadar air yang ada di
dalam biji pepaya berkurang. Setelah proses pengeringan selesai kemudian tumbuhan
biji pepaya dihaluskan yang bertujuan untuk memperluas permukaan sel buah pare
terhadap cairan alkohol sehingga zat aktif
yang terdapat didalam buah pare akan lebih mudah untuk diekstraksi. Biji
pepaya yang telah halus kemudian ditimbang sebanyak 100 gr untuk konsentrasi
1%, dengan penggunaan 4 dosis (10ml. 20ml, 30ml. 40ml) pada neraca analitik
dengan menggunakan kaca arloji kemudian memasukkan kedalam labu ukur 100 ml
lalu direndam dengan pelarut alkohol selama 3 hari dan setiap harinya dilakukan
penghomogenan. Kemudian hasil perendaman disaring, setelah itu hasil penyaringan dipanaskan
dengan menggunakan water bath hingga
mencapai titik didih alkohol dengan suhu 80°C, agar alkohol dapat menguap dan
didapatkan ekstrak biji pepaya kental. Setelah melakukan pemanasan volume
ekstrak biji pepaya akan berkurang maka dilakukan penambahan aquadest hingga tanda tera.
Mempersiapkan
5 buah nampan yang masing-masing nampan diisi dengan air sebanyak 1 liter.
Kemudian memasukkan ekstrak biji pepaya dengan dosis 10 ml ke baskom pertama,
dosis 20 ml baskom kedua, dosis 30 ml baskom ketiga, dosis 40 ml baskom
keempat, dan nampan 5 tidak menambahan zat apapun sebagai kontrol. Kemudian
memasukkan larva kedalam masing-masing nampan sebanyak 20 ekor. Tunggu dan
amati perkembangan larva selama 1 jam pertama , 2 jam kedua, 3 jam ketiga dan
24 jam lalu hitung larva yang mati dengan menggunakan counter. Pengulangan dalam
proses penelitian dilakukan sebanyak 3 kali. Hasil yang telah didapat
dimasukkan ke dalam tabel pengamatan
dan dianalisis dengan menggunakan uji One Way Anova.
3.1
Analisis Univariat
Penelitian
yang di lakukan pada tanggal 24 April s.d 24 Mei 2014 di Laboratorium Terpadu
Poltekkes Kemenkes Bengkulu menghasilkan data jumlah larva yang mati pada
penambahan ekstrak biji pepaya dengan berbagai variasi dosis yang disajikan
secara deskriptif dan analitik.
Tabel 1
Jumlah Larva Yang Mati Dengan Berbagai Variasi Dosis Ekstrak
Biji Pepaya Pemaparan 24 jam
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 3
kali pengulangan dengan total jumlah larva
Aedes sp sebanyak 60 ekor setelah dilakukan kontak selama
24 jam kematian larva tertinggi (100%) terjadi pada perlakuan ekstrak biji
pepaya dosis 40ml..
3.2
Analisis Bivariat
Uji One Way Anova
ini digunakan untuk menguji sebuah rancangan variabel lebih dari satu, uji ini
digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan jumlah larva yang mati pada
penambahan eksrtak biji pepaya dengan berbagai variasi dosis.
Tabel 2
Hasil Uji One Way
Anova Jumlah Larva yang Mati Pada Penambahan Ekstrak Biji pepaya dengan
Berbagai Variasi dosis
Pada tabel 2 hasil uji One Way Anova
didapat nilai ρ = 0,000 < 0,05
dapat diartikan bahwa secara statistik Ho ditolak dan Ha diterima, disimpulkan
bahwa ada perbedaan jumlah larva nyamuk Aedes
sp yang mati pada penambahan ekstrak biji pepaya dengan dosis (10ml, 20ml,
30ml, 40ml).
Selanjutnya untuk mengetahui
rata-rata beda jumlah larva nyamuk Aedes
sp yang mati pada penambahan ekstrak buah pare dengan berbagai variasi
dosis serta kontrol, dilakukan uji bonferroni.
Hasil uji bonferroni dapat dilihat
pada tabel 3:
Tabel 3
Hasil Uji Bonferroni
Jumlah Larva Nyamuk Aedes sp yang
Mati Pada Penambahan Ekstrak Biji Pepaya Dengan Berbagai Variasi Dosis
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa selisih jumlah rata-rata beda larva nyamuk Aedes sp yang mati antara kontrol dan perlakuan ekstrak 10 ml adalah 7,000 ekor. Selisih rata-rata antara kontrol dan perlakuan ekstrak dengan dosis 20 ml adalah 11,000 ekor. Selisih rata-rata antara kontrol dan ekstrak dengan dosis 30 ml adalah 16,667 ekor. Selisih rata-rata antara kontrol dan ekstrak dengan dosis 40 ml adalah 20,000 ekor.
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa selisih jumlah rata-rata beda larva nyamuk Aedes sp yang mati antara kontrol dan perlakuan ekstrak 10 ml adalah 7,000 ekor. Selisih rata-rata antara kontrol dan perlakuan ekstrak dengan dosis 20 ml adalah 11,000 ekor. Selisih rata-rata antara kontrol dan ekstrak dengan dosis 30 ml adalah 16,667 ekor. Selisih rata-rata antara kontrol dan ekstrak dengan dosis 40 ml adalah 20,000 ekor.
Selisih
rata-rata antara perlakuan ekstrak dengan dosis 10 ml dan ekstrak dengan dosis
20 ml adalah 4,000 ekor. Selisih rata-rata antara perlakuan ekstrak dengan
dosis 10 ml dan ekstrak dengan dosis 30 ml adalah 9,667 ekor. Selisih rata-rata
antara perlakuan ekstrak dengan dosis 10 ml dan ekstrak dengan dosis 40 ml
adalah 13,000 ekor. Selisih rata-rata antara perlakuan ekstrak dengan dosis 20
ml dan ekstrak dengan dosis 30 ml adalah 5,667 ekor. Selisih rata-rata antara
perlakuan ekstrak dengan dosis 20 ml dan ekstrak dengan dosis 40 ml adalah
9,000 ekor. Selisih rata-rata antara perlakuan ekstrak dengan dosis 30 ml dan
ekstrak dengan dosis 40 ml adalah 3,333.
Hasil
uji Bonferroni menunjukkan bahwa
selisih rata-rata yang bermakna dengan p value = 0,000 terhadap jumlah larva
nyamuk Aedes sp yang mati penambahan
ekstrak biji pepaya pada berbagai variasi dosis (10 ml, 20 ml, 30 ml, 40 ml)
dan kontrol, dan diantara keempat perlakuan yang paling berpengaruh adalah
perlakuan dengan penambahan ekstrak bubuk biji dengan dosis 40 ml.
Pembahasan
Berdasarkan
tabel 1 Berdasarkan hasil analisis univariat menunjukkan bahwa ekstrak biji
pepaya memiliki pengaruh sebagai larvasida terhadap larva Aedes sp. Dari masing-masing variasi dosis ekstrak biji pepaya (Carica Papaya Linnaeus) memiliki tingkat
daya bunuh lava Aedes sp yang
berbeda-beda. Ini dapat dilihat dari rata-rata persentase kematian larva Aedes sp pada dosis 10 ml dapat membunuh
larva Aedes sp sebesar 35%, pada
dosis 20 ml dapat membunuh larva Aedes sp
sebesar 55% , pada dosis 30 ml, dapat membunuh larva sebesar 83,3% dan pada
dosis 40 ml dapat membunuh larva Aedes sp
sebesar 100%. Hal ini terjadi karena semakin besar dosis yang digunakan maka kandungan
zat toksik saponin yang terdapat di dalam ekstrak biji pepaya dapat semakin
efektif untuk membunuh larva Aedes sp,
jadi diperoleh dosis 40 ml yang paling efektif sebagai larvasida dengan
kandungan saponin yang terbesar 0,04 %.
Hasil
analisis bivariat pada tabel 2 yaitu uji One Way Anova diketahui bahwa ekstrak
biji pepaya (Carica papaya Linnaeus) mempunyai kemampuan untuk mematikan larva Aedes sp. Ini dapat dilihat dari nilai p
value < 0,05 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini sesuai dengan
kemampuan biji pepaya dalam membunuh larva nyamuk Aedes sp di karenakan adannya kandungan saponin dalam biji pepaya.
Saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin
memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga ketika direaksikan dengan air dan
dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin mudah larut
dalam air dan saponin memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan iritasi pada
selaput lendir. Saponin merupakan racun yang dapat menghancurkan butir darah
atau hemolisis pada darah.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan terhadap obyek penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Jumlah rata-rata larva yang mati pada penambahan ekstrak
biji pepaya dengan dosis 10 ml adalah 7 ekor, dosis 20 ml adalah 11 ekor, dosis
30 ml adalah 16,66, dosis 40ml adalah 20 ekor.
2. Perbedaan jumlah larva Aedes sp yang mati pada penambahan bebagai macam dosis ekstrak biji
pepaya pada dosis 10 ml dengan 20 ml adalah 4 ekor, pada dosis 10 ml dengan 30
ekor adalah 8 ekor, pada dosis 10 ml dengan 40 ml adalah 13, pada dosis 20 ml
dengan 30 ml adalah 5 ekor, pada dosis 20 ml dengan 40 ml adalah 9 ekor, pada
dosis 30 ml dengan 40 ml adalah 4 ekor.
3. Dosis yang paling efektif untuk membunuh larva Aedes sp adalah dosis 40 ml dengan
persentase kematian larva Aedes sp
100 %.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan adapun
saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Bidang Akademik Pendidikan
Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan
yaitu dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan kesehatan lingkungan khususnya
penyakit demam berdarah dengue (DBD).
2. Manfaat Bagi Peneliti Lain
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi
mengenai larvasida biji pepaya sehingga diharapkan dapat melanjutkan penelitian
dengan menggunakan larutan tumbuhan yang berkualitas.
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang
alternatif pembasmi larva nyamuk, memberikan informasi tentang salah satu
solusi pencegahan penyakit demam berdarah (DBD), Memberikan pengetahuan bagi
masyarakat mengenai potensi bahan alami sebagai larvasida.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, 2010, Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Indonesia. Diakses Dari http//google.com/Demam
Berdarah Dengue Di Indonesia Jurnal.
Arikunto, 2010, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta :
Jakarta Depkes RI, 2007, Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), Indonesia : Depkes RI 2007.
Depkes RI, 2002, Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD). Depkes RI, 2002.
Dinas Kesehatan, 2008-2012, Profil Kesehatan Indonesia 2008- 2012. Indonesia
: Profil Kesehatan Indonesia.
Dinkes Kota Bengkulu, 2012,
Jumlah Penderita Demam Berdarah
Dengue (DBD), Dinkes Kota Bengkulu.
Dinkes Provinsi Bengkulu, 2012,
Kasus Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD), Dinkes Provinsi Bengkulu.
Ivan V, 2006, Perbandingan
Efektivitas Abate Dengan Papain Dalam
Menghambat Pertumbuhan Larva Aedes spp.
Ginanjar, 2008, Apa yang dokter anda tidak katakan tentang demam berdarah, PT.
Mizan Publika, Bandung.
Kardinan, 2000, Larvasida Alami,
Kementerian Kesehatan RI, 2007,
Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD).
Kementerian Kesehatan RI, 2005, Morfologi dan lingkungan
hidup nyamuk, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI, 2002, Perantara Penularan DBD.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Moehd. Baga Kalie, 1996, Bertanam Tanaman Pepaya Edisi Revisi,
Penebar Swadaya : Jakarta.
Mulla,
2004, Demam Berdarah Dengue (DBD) Jurnal,
Diakses Dari http//google.com.
Nadesul,
1996, Demam Berdarah Dengue (DBD), Diakses Dari http://www.scribd.com/doc//Makalah-Dbd.
Noraida,
2000, Formula Abbot Corrections, Bandung : ITB.
Notoatmojo,
2010, Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta..
Nurhasanah,
2001, Demam Berdarah Dengue (DBD) Jurnal,
Diakses Dari http//google.com.
Dinas Kesehatan, 2008-2012, Profil Kesehatan Indonesia 2008- 2012. Indonesia
: Profil Kesehatan Indonesia.
Simanjuntak, 2005, Senyawa
Kimia Sintetis, Diakses Dari http://repository.usu.ac.id/bitstream//Chapter II. pdf.
Soegijanto, 2006
, Pengendalian Vektor Secara Mekanik Dan Pengelolaan Lingkungan, Diakses Dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/Chapter
II. pdf.
Soroso, 2000, Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD), Diakses Dari http://repository.usu.ac.id/bitstream//Chapter II.pdf.
Sudrajat dkk, 2009, Masalah
Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue
(DBD), Diakses Dari http//google/com.
, SB, 2008, Perantara Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD), Diakses Dari
http//google.com.
Tjitrosoepomo, Gembong, 2012, Morfologi Tumbuhan, Yogjakarta, UGM
Press.
Wahyuni, 2005, Senyawa Kimia Non Nabati, Diakses Dari http://repository.usu.ac.id/bitstream//Chapter
II. Pdf.004, Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti, WHO.
, 1999, Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Disebabkan Oleh Virus Dengue. WHO.
_________, !997, Pengendalian nyamuk
yang paling efektif, WHO
Wikipedia,
2007, Tanda Dan Gejala Demam Berdarah Dengue
(DBD) www.wikipedia.com.
Yoyon
Maryono, 2013, Pengaruh
Penambahan
Berbagai Dosis Ekstrak Pepaya (CaricaPapaya Linnaeus)
Terhadap
Kematian Larva Aedes sp
Yunida, 2009, Penyebab Virus Dengue, Diakses Dari www.adulgopar.files, wordpress.com 6 oktober 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.