PENDAHULUAN
Safety Engineering adalah disiplin rekayasa yang memastikan
bahwa sistem terekayasa menyediakan tingkat keselamatan yang dapat diterima.
Hal ini sangat terkait dengan rekayasa sistem, rekayasa industri dan subset
rekayasa keamanan sistem. Rekayasa keselamatan memastikan bahwa sistem kritis
kehidupan berfungsi sesuai yang dibutuhkan, bahkan ketika komponen mengalami
kegagalan.
Tujuan utama dari teknik keselamatan adalah mengatur risiko,
mengeliminasi atau mereduksinya hingga tingkatan yang dapat diterima. Risiko
adalah kombinasi antara kemungkinan dari kejadian kegagalan dan kerusakan yang
diakibatkan oleh kegagalan tersebut. Kegagalan dapat menyebabkan korban jiwa,
luka, hingga kerusakan properti. Kegagalan dapat terjadi berulang kali,
kadang-kadang, hingga jarang sekali tergantung pada jenis sistem dan seberapa
sering digunakan. Probabilitas atau kemungkinan terjadi seringkali lebih sulit
untuk diprediksi daripada tingkat kerusakan karena berbagai faktor yang
menyebabkan kegagalan seperti kegagalan mekanis, efek lingkungan, dan kesalahan
operator.
Teknik keselamatan bertindak dengan mengurangi frekuensi
kegagalan dan memastikan bahwa ketika kegagalan terjadi, konsekuensinya tidak
membahayakan jiwa. Seperti contoh ketika jembatan diddesain untuk membawa beban
bahkan ketika truk terberat melewatinya. Hal ini akan mengurangi terjadinya
kelebihan beban yang mampu merusak jembatan. Kebanyakan jembatan didesain
dengan jalur pembebanan lebih dari satu sehingga ketika satu bagian mengalami
kegagalan, struktur akan tetap berdiri.
http://ergonomi-fit.blogspot.co.id/2011/11/safety-engineering-teknik-keselamatan.html |
PEMBAHASAN
Faktor Pembentuk
Budaya Keselamatan Kerja
Menurut Ramli, 2010 dalam jurnal Karina dan Erwin tentang “Hubungan Antara Pembentukan Budaya
Keselamatan Kerja…”, komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang
tertulis, jelas, mudah dimengerti, dan diketahui oleh seluruh pekerja. Namun,
komitmen tidak hanya dalam bentuk kebijakan tertulis saja, butuh dukungan dan upaya
nyata dari pihak manajemen atau pimpinan untuk membuktikan bahwa perusahaan benar-benar berkomitmen terhadap keselamatan
kerja. Upaya nyata tersebut dapat
ditunjukkan dengan sikap dan segala tindakan yang berhubungan dengan keselamatan
kerja.
Peraturan dan
Prosedur
Peraturan merupakan suatu hal yang mengikat dan telah
disepakati, sedangkan prosedur merupakan rangkaian dari suatu tata kerja yang
berurutan, tahap demi tahap serta jelas menunjukkan jalan atau arus (flow)
yang harus ditempuh
dari mana pekerjaan
dimulai. Tujuan dari
dibentuknya peraturan dan
prosedur keselamatan kerja
yaitu untuk mengendalikan
bahaya yang ada
di tempat kerja,
untuk melindungi pekerja dari kemungkinan terjadi kecelakaan, dan
untuk mengatur perilaku
pekerja, sehingga nantinya tercipta
budaya keselamatan yang baik (Ramli, 2010).
Dasar dari budaya
keselamatan adalah sikap dan persepsi
pekerja terhadap keselamatan
kerja, yang nantinya menjadi
salah satu gambaran perilaku pekerja terhadap pelaksanaan peraturan dan
prosedur K3 dalam rangka mengendalikan sumber potensi bahaya (Ferraro,
2002).
SISTEM
APLIKASI KEAMANAN GEDUNG
Penerapan Fire Safety
Management (FSM)
Menurut Sarwono A. 2009, FSM (Fire Safety Management) adalah sistem pengelolaan/pengendalian
unsur-unsur manusia, sarana/peralatan, biaya, bahan, metode dan informasi untuk
menjamin dan meningkatkan keamanan total pada bangunan terhadap bahaya
kebakaran. FSM telah menjadi bagian
persyaratan penting yang harus dipenuhi dalam menciptakan bangunan yang handal
sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 28 tahun
2002 tentang Bangunan Gedung. Sebagaimana ditetapkan
dalam Kepmeneg PU No.
11/KPTS/2000 tentang Ketentuan
Teknis Manajemen Penanggulangan
Kebakaran di Perkotaan, bahwa setiap
bangunan dengan luas lantai
minimal 5000 m2, jumlah penghuni
500 orang dan ketinggian lebih
dari 8 lantai wajib menerapkan FSM.
Penetapan atas penerapan
FSM tersebut tidak
dapat hanya dibatasi
kriteria diatas, namun harus
didasarkan pula pada
tingkat resiko atau potensi
terhadap bahaya kebakaran.
Terdapat 3 faktor utama yang
menjadi penyebab kebakaran yaitu faktor manusia (human factor), faktor pertumbuhan api (fire factor)
dan faktor penyulutan (ignition factor).
Sehingga dalam implementasinya, penerapan
FSM tersebut memiliki suatu kriteria
yang jelas berdasarkan
tingkat resikonya (Risk-Based Methodology) agar layak
untuk suatu bangunan tertentu
terutama yang diperkirakan
mempunyai tingkat resiko
yang tinggi seperti bangunan
perkantoran, rumah sakit dan bangunan pelayanan umum lainnya.
Potensi Bahaya
Kebakaran
Menurut Sarwono A. 2009, potensi bahaya kebakaran dan
prinsip pencegahan serta penanggulangannya merupakan bagian penting dari
manajemen penanggulangan kebakaran agar suatu kota terlindung dari bencana tersebut. Perencanaan
menyeluruh untuk proteksi kebakaran dimulai
dengan mengetahui
potensi bahaya kebakaran
yang ada di
suatu wilayah guna menentukan kebutuhan
penyediaan air sebagai bahan pemadaman berdasarkan sumber
yang tersedia serta sistem
pemadaman lainnya. Potensi ancaman kebakaran
ini dapat diketahui
dari jenis dan pemanfaatan
bangunan yang ada
disuatu wilayah yang selanjutnya dapat dilakukan pemeringkatan dengan
mengacu ASTM E
931-94 Standard Practice for Classification
for Their Relative Fire Hazard. Berdasarkan standar tersebut dapat dilakukan penilaian
dalam 3 kelompok
yaitu Human factor, Fire factor dan Ignition factor.
1.
Human Factor
Human factor adalah elemen-elemen yang berkaitan
dengan respon manusia terhadap kebakaran, yang terdiri atas :
a.
Tertahan, yaitu derajat dimana penghuni tertahan
dalam usaha melakukan pengamanan dirinya;
b.
Evakuasi, tertahan dalam usaha melakukan
pengamanan menyelamatkan diri;
c.
Ketidakmampuan, yaitu tingkatan dimana umur,
cacat tubuh atau kelemahan fisik yang dapat mengurangi kemampuan untuk
menyelamatkan diri.
2.
Fire Factor
Fire factor adalah elemen-elemen
yang berkaitan dengan
pertumbuhan dan penyebaran api, yang terdiri atas :
a.
Pengendalian kebakaran, yakni derajat dimana
terdapat personil terlatih dan peralatan proteksi untuk pemadaman kebakaran;
b.
Beban api, yakni jumlah dan distribusi bahan
mudah terbakar dalam bangunan;
c.
Terbakar penuh, yaitu tingkatan dimana kebakaran
terbatas atau tidak terbatas hanya di daerah asal mula api dikaitkan dengan
geometri bangunan atau tipe konstruksi;
d.
Waktu tanggap, yaitu kecepatan dan kemudahan
bagi petugas pemadam kebakaran dalam memadamkan kebakaran.
3.
Ignition Factor
Ignition factor (faktor penyalaan) terdiri
atas :
a.
Penyulutan aksidental, yaitu potensi penyalaan
dari semua sumber yang berkaitan di
dalam bangunan, seperti merokok, memasak, peralatan listrik, pemakaian bahan
mudah terbakar, produk atau perlengkapan lain dan adanya tempat atau peralatan
pemanas;
b.
Penyulutan disengaja, yaitu potensi penyulutan
sebagai akibat dari unsur kesengajaan atau vandalisme.
Daftar Pustaka :
1.
Sarwono, A. . “KRITERIA KELAYAKAN PENERAPAN FIRE
SAFETY MANAGEMENT (FSM) PADA BANGUNAN GEDUNG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI” . Jurnal Pemukiman, Vol. 6, No. 1, April 2011 : 1-8 . Dalam : http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik20131119125347.pdf
. [Diakses tanggal 6 Oktober 2017]
2.
Karina dan Eerwin . “HUBUNGAN ANTARA FAKTOR
PEMBENTUK BUDAYA KESELAMATAN KERJA DENGAN SAFETY
BEHAVIOR DI PT DOK DAN PERKAPALAN SURABAYA UNIT HULL CONSTRUCTION” . The
Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 2, No. 1 Jan-Jun
2013 : 67-74 . Dalam : https://media.neliti.com/media/publications/3789-ID-formers-factor-relationship-between-safety-culture-with-behavioral-health-and-sa.pdf
. [Diakses tanggal 6 Oktober 2017]
3.
Blogspot : “Tulisan K3LH” (Komitmen, Kesadaran, Kepatuhan, dan Hasrat terhadap K3 dan Lingkungan),
2016 . Dalam : http://ergonomi-fit.blogspot.co.id/2011/11/safety-engineering-teknik-keselamatan.html
. [Diakses tanggal 7 Oktober 2017]
4.
Wikipedia, 2016 . “REKAYASA KESELAMATAN” . Dalam
: https://id.wikipedia.org/wiki/Rekayasa_keselamatan
. [Diakses tanggal 6 Oktober 2017]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.